Suatu hari akunku pernah banjir komentar julid. Sebuah grup social movement waktu itu ramai, mengkhawatirkanku yang dapet ribuan komen negatif.
Beberapa ada yang sampe japri,
"Qoon, are you ok?"
"Siang ini makan apa?"
"Masih hepi kan?"
Circle terdekat biasanya paling khawatir.
Alhamdulillah.. Tetep bisa santai, beraktivitas seperti biasa, dan tidur pulas. Bahkan tidurnya lebih cepat dari kawan-kawan yang khawatir.
Kadang kawanku yang lain, justru kasihan sama yang ngejulidin, "Yang kasian tuh mba-mba SJW-nya! Tuh kayaknya kesel banget sama qoon kasihan..."
Mungkin karena aku tidak pernah peduli pendapat manusia. Woles banget anaknya, dominan thinker pula. Perkara dipandang buruk atau baik, menang atau kalah, bukan itu yang kucari. Hanya menjalankan peran dalam bersuara.
Marah karena nilai-nilai Islam dipelintir, dicitrakan buruk, atau dibungkam. Kalau cacian personal, its ok. Gak masalah.
Beberapa kawan lainnya, ada yang menjulukiku "Samsak Umat". Terlalu bagus menurutku. Karena nahi mungkarnya cuma sesekali, itupun lingkup kecil. Gak sampe head to head langsung sama gerakan internasional, kaya ibu-ibu Aila, atau para pejuang di Gaza.
Oh ya, sungguh postingan (nahi munkar) yang menuai komentar julid, tak didasari pada kebencian sekompok orang. Hanya kebencian sama perilaku dan narasi yang dibawanya aja.
Kalau sama personal, malah seringnya terinspirasi dengan mba-mba SJW. Mereka semangat banget "dakwahin" feminisnya, jauh lebih semangat dan produktif dariku. Sikap mereka jelas. Kalo ada narasi Islami, langsung di-julid-in abis-abisan.
Untuk ukuran aktivis, kuacungi jempol.
Tiap orang punya titik berdiri. Kalau kedua ideologi ini sudah bernarasi, wajar akan ada "bentrokan" antar netizen.
Kuanggap ini konsekuensi. Rasulullah aja yang udah sempurna, masih ditimpukin batu. Apalagi kita, yang banyak sekali kurangnya.
Kalau yang diadu masih soal narasi, itu masih oke. Tapi, kalo udah mulai keluar kotoran, hewan, kelamin, biasanya aku mundur. Atau kalau udah debat kusir juga biasanya milih mundur, udah gak produktif. Bahkan block beberapa orang kalo udah ganggu banget.
Kadang suka bertanya-tanya, "kenapa kok kayaknya benci dan kesel banget ya?" Padahal beradu narasi adalah hal yang wajar.
Ini bukan soal menang atau kalah. Bukan siapa yang bisa membalas komentar paling lama. Tapi soal bersuara. Cukup sampaikan kebenaran. Perkara mau menerima atau tidak, sudah bukan domainku.
Diam saat tahu akan kebenaran, berarti membiarkan keburukan. Silent is a war crime! Setidaknya bisa bersaksi kelak sama Allah, telah bersuara saat tahu ada kemungkaran.
Beberapa ada yang sampe japri,
"Qoon, are you ok?"
"Siang ini makan apa?"
"Masih hepi kan?"
Circle terdekat biasanya paling khawatir.
Alhamdulillah.. Tetep bisa santai, beraktivitas seperti biasa, dan tidur pulas. Bahkan tidurnya lebih cepat dari kawan-kawan yang khawatir.
Kadang kawanku yang lain, justru kasihan sama yang ngejulidin, "Yang kasian tuh mba-mba SJW-nya! Tuh kayaknya kesel banget sama qoon kasihan..."
Mungkin karena aku tidak pernah peduli pendapat manusia. Woles banget anaknya, dominan thinker pula. Perkara dipandang buruk atau baik, menang atau kalah, bukan itu yang kucari. Hanya menjalankan peran dalam bersuara.
Marah karena nilai-nilai Islam dipelintir, dicitrakan buruk, atau dibungkam. Kalau cacian personal, its ok. Gak masalah.
Beberapa kawan lainnya, ada yang menjulukiku "Samsak Umat". Terlalu bagus menurutku. Karena nahi mungkarnya cuma sesekali, itupun lingkup kecil. Gak sampe head to head langsung sama gerakan internasional, kaya ibu-ibu Aila, atau para pejuang di Gaza.
Oh ya, sungguh postingan (nahi munkar) yang menuai komentar julid, tak didasari pada kebencian sekompok orang. Hanya kebencian sama perilaku dan narasi yang dibawanya aja.
Kalau sama personal, malah seringnya terinspirasi dengan mba-mba SJW. Mereka semangat banget "dakwahin" feminisnya, jauh lebih semangat dan produktif dariku. Sikap mereka jelas. Kalo ada narasi Islami, langsung di-julid-in abis-abisan.
Untuk ukuran aktivis, kuacungi jempol.
Tiap orang punya titik berdiri. Kalau kedua ideologi ini sudah bernarasi, wajar akan ada "bentrokan" antar netizen.
Kuanggap ini konsekuensi. Rasulullah aja yang udah sempurna, masih ditimpukin batu. Apalagi kita, yang banyak sekali kurangnya.
Kalau yang diadu masih soal narasi, itu masih oke. Tapi, kalo udah mulai keluar kotoran, hewan, kelamin, biasanya aku mundur. Atau kalau udah debat kusir juga biasanya milih mundur, udah gak produktif. Bahkan block beberapa orang kalo udah ganggu banget.
Kadang suka bertanya-tanya, "kenapa kok kayaknya benci dan kesel banget ya?" Padahal beradu narasi adalah hal yang wajar.
Ini bukan soal menang atau kalah. Bukan siapa yang bisa membalas komentar paling lama. Tapi soal bersuara. Cukup sampaikan kebenaran. Perkara mau menerima atau tidak, sudah bukan domainku.
Diam saat tahu akan kebenaran, berarti membiarkan keburukan. Silent is a war crime! Setidaknya bisa bersaksi kelak sama Allah, telah bersuara saat tahu ada kemungkaran.