Sebuah Prolog (1/15)
9/26/2017 11:40:00 PM
Langit Gaza menghitam. F-16 menderu menakutkan, bermanufer terbang
rendah meneror seisi kota. Melepaskan rudal yang menimbulkan suara nyaring
menyiksa gendang telinga. Bedemam suaranya menghantam pemukiman Gaza.
Untuk yang kesekian kalinya dalam hari itu, bumi kembali bergetar.
Asap hitam membumbung ke udara. Orang-orang melolong,
berteriak, panik, menangis, berlarian mencari perlindungan.
BUK! BUK! BUK!
Seorang perempuan tua menggedor pintu dengan keras.
“Ahmad kau dimana?” Teriaknya
sekuat tenaga. Lalu kembali menggedor pintu.
Rudal kedua kembali mendarat. Bumi kembali bergetar.
Perempuan itu berteriak histeris. Air matanya meleleh. Semua orang berlarian.
“Maryam! Anakmu tak ada di sana! Berbahaya! Ayo ikut
denganku!” ujar salah satu juru medis. Mobilnya sudah nmenunggu, menderu akan
tancap gas, Sirinenya nyaring membuat suasana makin mencekam.
BUK! BUK!BUK! Maryam
malah semakin keras menggedor pintu.
“Kau pergi sana
selamatkan nyawamu!” balas Maryam tak kalah galak. Ali, sang juru medis muntab.
“Kau mau mati ya!” teriaknya kesal.
“ALI! CEPAT NAIK!” teriak kawannya dalam mobil ambulans.
Sedari tadi ia sudah tak sabar ingin tancap gas.
Ali tahu keselamatanya sedang di ujung tanduk. Baginya mudah
saja menyelamatkan dirinya dengan melesat menggunakan mobil Ambulans. Tapi hati
nuraninya tak mampu meninggalkan Maryam yang tengah mencari anaknya.
Ledakkan rudal kembali meneror seisi kota. Bumi bergetar.
Sebagian bangunan tempat mereka bernaung
runtuh. Maryam dan Ali refleks merunduk melindungi kepala mereka.
Tanpa ba bi bu, ambulans melesat meninggalkan mereka. Suara
sirinenya dengan cepat menghilang. “HEEEY!” Teriak Ali panik ditinggalkan
kawannya. Ia mengutuk kawannya dalam hati. Teriakan paraunya lambat laun
berhenti.
Tiba-tiba suara tangisan terdengar dari dalam rumah.
“Hu..hu..hu..”
Ali dan Maryam saling melempar pandang. Bola mata mereka
membesar. Senyum kecil menyungging. Secercah harapan datang!
***
“Kau sudah siap John? Dalam hitungan ketiga, kau akan
terhubungan langsung dari studio utama, Headline News!” ucap Tedd dari balik
kamera.
John mengangguk percaya diri. Ia telah khattam dunia
reportase, bahkan dalam kondisi terburuk.
Dengan rompi anti peluru bertuliskan Press dan nama media global ternama, menggenggam mic dengan mantap, dan
mata tajamnya yang mengarah pada kamera, ia siap melaporkan kondisi terkini di
Gaza.
“Tiga, dua, satu..” Tedd memberi aba-aba.
“Kondisi Gaza kembali memanas..” ucap John memulai
reportasenya.
John mematung. Matanya melotot. Dengan kecepatan yang sangat
tinggi, F-16 terbang rendah menuju ke arahnya. Mederu memekakkan telinga.
Seluruh kru kocar-kacir menyelamatkan diri.
“John lari! John! Kau sudah gila!” di antara riuh suara
pesawat, samar John mendengar orang-orang meneriakkan namanya.
BUM! F-16 menjatuhkan rudal di tanah Gaza.
Energi ledakan yang hanya beberapa meter dari dirinya,
membuat John terpental.
Bumi bergetar. Asap hitam membumbung ke udara. John tak
dapat melihat apapun. Ia hanya
mendengar suara teriakan histeris orang-orang
disekitarnya.
Ia terkepung asap. Tubuhnya ngilu. Sebagian lebam, sebagian
terbakar.
John meringis. Ia butuh bantuan.
***
Tanpa ba bi bu, Maryam dan Ali segera merangsek menuju pintu
masuk.
“MINGGIR!” Teriak Ali! Ia mengambil ancang-ancang beberapa
meter, berlari kencang, dan sekuat tenaga mendobrak pintu.
BRAK! Pintu terbuka. Maryam tak kalah gesit masuk.
“Ahmad! Ahmad! Kau dimana?” teriak Maryam panik.
BUM!
Bumi kembali bergetar. Sebagian atap dan dinding rumah kembali
runtuh. Ali ketakutan.
Maryam dengan insting ibunya, tak sedikit pun gentar. Di
tengah kondisi mencekam hujan bom, ia memasang telinganya baik baik. Mendeteksi
asal suara tangisan.
“Hu..hu..hu..”
Semakin jelas! Ucap Maryam dalam hati. Matanya awas meneliti
setiap sudut rumah. Menerka-nerka dimana kira-kira anaknya akan bersembunyi
dalam kondisi seperti ini.
“Di sana!” Teriak Maryam sambil menunjuk lemari.
Ali dan Maryam berlari menuju lemari setinggi satu meter.
Membukanya dan menemukan Ahmad yang tengah menangis ketakutan.
Bocah empat tahun itu, terlalu kecil untuk berada dalam
kengerian hujan rudal. Batinnya meronta, ketakutan, merindukan dekapan sang ibu.
“Ummmiiii...” Tangisan Ahmad semakin keras setelah bertemu
ibunya.
Maryam segera memeluk dan menggendongnya. “Jangan takut mujahid
kecilku, kita akan keluar dari sini,” ucap Maryam tersenyum tenang sambil
mati-matian menahan air matanya. Ia tak mau membuat Ahmad semakin takut.
Bumi kembali bergetar. Sebagian rumah telah runtuh. Asap
mengaburkan pengelihatan mereka. Maryam, Ahmad, dan Ali berlari gesit
menghindari hujan reruntuhan bangunan.
BRUK!
Sebuah beton menutupi jalan keluar mereka. Maryam dan Ali
saling berpandangan. Menelan ludah, ketakutan. Tatapan mereka nanar. “Kita
terperangkap!” ucap Ali lemah. Rasanya sudah tak ada jalan keluar lagi.
Maryam berpikir cepat.
“Pasti ada jalan
keluar! Pasti ada!” Batinnya dalam hati.
Di antara reruntuhan, Maryam melihat sebuah lubang kecil.
Maryam memeluk Ahmad erat, “Dengarkan Umi baik-baik Ahmad,”
ucap Maryam sambil berlutut mencoba menyamakan ketinggian mata dengan anaknya.
Air muka Maryam mendadak berubah. Maryam tersenyum sempurna.
Seakan hujan bom yang tengah terjadi tak pernah ada, “Kau ingat kisah tentang
Khalid bin Walid bukan? Sang pedang Allah yang terhunus itu?” Maryam memulai strateginya.
Ali bingung. Tak habis pikir apa yang telah dilakukan Maryam
dalam kondisi genting, antara hidup dan mati ini.
Ahmad mengangguk penuh semangat, “Aku ingat! Sang legenda
militer itu kan umi!” jawab Ahmad yang tiba-tiba bermain peran menjadi tokoh
idolanya.
“Ting! Ting!” suara Ahmad meniru desingan pedang yang tengah
dihunuskan.
Maryam tertawa, “Kau pintar sekali Ahmad. Kau juga ingat
bagaimana Khalid melintasi jalur mematikan untuk menuju lokasi perang Yarmuk
bukan?”
Ahmad kembali mengangguk.
“Nah, sekarang umi mau Ahmad melakukan hal yang sama. Lewati
lubang kecil itu, hadapi berbagai rintangan sesulit apapun, cari bantuan untuk
menyelamatkan umi dan brother Ali.” Ucap Maryam dengan senyum menantang.
“Kau tidak takut kan Ahmad?” tanya Maryam dengan senyum meremehkan.
Ahmad menelan ludah. Ia takut, tapi gengsinya terlalu tinggi
untuk mengatakan tidak. “SIAP KOMANDAN!” Balas Ahmad.
Maryam tersenyum melihat anaknya berlari sigap menelusup
lewat celah reruntuhan.
***
Dalam kepungan asap, John menyeret kakinya sekuat tenaga.
Tertatih-tatih ia berjalan mencari perlindungan.
“Tolooong!” Teriaknya parau.
“Siapapun! Tolong panggilkan mobil ambulans!” teriaknya
lagi.
“Aku jurnalis! Tak seharusnya aku menjadi korban peperangan!”
teriaknya kesal karena tak kunjung mendapatkan bantuan.
John terduduk tak mampu menggerakkan kakinya untuk
melangkah. Rasa sakit, lelah, takut, semua bercampur menjadi satu.
“AAAAAA!” Suarar lolongan terdengar.
Di antara pekatnya asap, samar John melihat sesosok manusia
tengah berlari.
Suara teriakannya semakin keras. Sosok manusia itu semakin
jelas terlihat. Seorang bocah lima tahun!
“Tolong! Tolong! Ibuku dan seorang paman terjebak di
bangunan itu!” Ucapnya panik.
John hanya menunduk. Jangankan menolong orang lain,
mengangkat diri sendiri pun ia tak mampu.
Ahmad menangis keras. Menarik-narik baju John agar mau
berdiri. “Tolong ibuku! Aku mohon!” rengek Ahmad berulang-ulang.
John menatap nanar pada si kecil Ahmad, menggeleng-gelengkan
kepala tanda ia tak mampu. Tangisan Ahmad semakin keras.
Beberapa saat kemudian ambulans datang. Petugas medis sigap
menandu John menuju mobil. Petugas lainnya menggendong paksa Ahmad yang meronta
tak mau diselamatkan,
“Di sana ada ibuku! Tolong ibuku!” Teriak Ahmad, menangis
sambil menunjuk rumahnya.
Petugas medis seakan tak peduli. Memasukan paksa Ahmad ke
dalam mobil Ambulans.
Ahmad meraung-raung. Meronta ingin keluar dari mobil.
Seorang petugas medis lalu memeluk dan menenangkan Ahmad. “Kau
anak yang kuat nak,” ucap petugas medis lembut dengan mata berkaca-kaca.
Mobil ambulans melaju kencang menuju rumah sakit terdekat.
Meninggalkan puing-puing rumah Ahmad yang kini telah rata
dengan tanah.
0 komentar