Kehidupan di Luar Dirimu

9/02/2017 11:22:00 PM

Suriah, 2017
Seorang wanita tumbang setelah malam sebelumnya mendapat siksaan keras pada wajah dan badannya. Seorang sipir penjara Rezim Assad masuk. Lalu menyeret mayatnya dingin keluar penjara, meletakannya di koridor tanpa dosa. Diperlakukan layaknya seonggok anjing mati di pinggir jalan.
Diseret. Meninggalkan jejak darah di lantai. Menghancurkan mental penghuni sel yang tersisa. Menghantui dan meneoror seisi sel.
Keributan tak terelakan. Puluhan wanita lainnya di dalam sel berteriak histeris, menangis, meraung! suasana amat mencekam.
“hentikaaan!” Teriak Zahira sambil berlinang air mata. Teriakannya tenggelam di antara kegaduhan seisi sel. Ia meringkuk memeluk lututnya sejak tadi. Terhimpit tak bisa bergerak dalam sel sesak berukuran 3x4 meter berisi 48 wanita.
Zahira mencoba tegar. Menguatkan hati berkali-kali. Mencoba melupakan kenangan buruknya saat lima sipir penjara memperkosanya bergantian. Merekam saat-saat kehormatannya direnggut. Dijadikan lelucon. Parahnya, hal itu tidak terjadi sehari, tapi terus menerus selama 40 hari.
Tubuhnya hancur. Kehormatannya tidak bersisa. Zahira putus asa. Masa depannya hancur sudah.
Tangisannya makin keras. Tak ada yang peduli. Ia Meringkuk. “Tak adakah kemanusiaan di dunia ini?” batinnya dalam pilu.
***
Palestina, 2017
Seorang ayah berlari tertatih-tatih. Menyeret sekuat tenaga kaki kanannya yang hancur dilumat ledakan rudal. Darah segar mengalir dari kepalanya. Sambil menggendong anaknya yang berumur lima tahun, ia berteriak mencari pertolongan.
“Tolong saya! Masih ada 3 korban lainnya di sana!” Teriaknya pada siapa pun. Kondisi mencekam. Ia panik. Semua orang berlarian. Baru saja rudal Israel menghantam jalur Gaza. Ia terlempar puluhan meter sambil memeluk anaknya.
“Aku mohon! Hubungi Ambulans! Siapapun...” Teriaknya parau dengan tenaga tersisa. Suaranya hampir habis. Air matanya berlinang sejak tadi. Tengkorak kepalanya yang retak terlalu banyak mengeluarkan darah. Ia jatuh, tergeletak di jalan sambil memeluk buah hatinya.
Darah segar terus mengalir dari tubuhnya. Ditinggalkan orang-orang yang panik mencari pertolongan.
***
Myanmar, 2017
“Bakar! Bakar! Bakar!” Teriak sekelompok orang garang penuh amarah. Asap membumbung tinggi. Ribuan rumah terbakar menciptakan kobaran api menyeramkan. Beberapa orang yang tak mampu menyelamatkan diri, menggelinjang dilumat api. Terpanggang, hangus, bak seonggok sampah.
Ali, seorang bocah tujuh tahun, berlari tak tentu arah. Air matanya tak berhenti mengalir. “Ibuuu.. Ibuu dimana?” Di tengah kepulan asap, suara tembakan, dan lolongan manusia yang ketakutan, ia hanya ingin ibunya.
“Ibuuuu..” teriaknya lagi. Tangisannya makin keras. Ali berusaha mencari ke setiap sudut, menoleh ke kanan dan kekiri. Tapi ibunya tak kunjung ditemukan.
Seorang pria tua menariknya, “Ikut kakek nak, ibumu ada di sana.” Ucap sang kakek tanpa menoleh, setengah berlari. Wajahnya sama cemasnya dengan Ali.
Ali, sang kakek, dan puluhan ribu warga Rohingya lainnya berjalan, menempuh hutan belantara. Mereka mengungsi menuju Bangladesh. Dalam perjalanan menyeberang sungai, beberapa mayat muncul, mengambang di permukaan air.
Ali menahan nafas, tangisnya tercekat di tenggorokan. Ia ketakutan dengan semua kegilaan yang baru terjadi. “Ibu dimana? Ali takut..” tanyanya berulang-ulang dalam hati.
***
Kawan, kisah bak film laga atau thriller barusan ternyata benar-benar terjadi. Pun itu, baru sekelumit kisah dari kekejaman yang sebenarnya. Kalau duniamu saat ini bahagia, aman, tentram, dan sentosa, bukan berarti seluruh dunia juga demikian. Jangan lupa doakan mereka selalu, saudara sesama muslimmu. Ajak sebanyak mungkin orang, dan turut kirimkan donasi jika rezekimu berlebih.
FQ.

You Might Also Like

0 komentar

Instagram