Tahi Rasa Coklat

6/14/2017 02:36:00 AM

Limosin yang kunaiki melambat. "Kita sudah sampai tuan," ucap pak supir sambil menoleh pada kami. Ayah mengangguk sambil tersenyum ramah.
Aku melihat keluar jendela dan terperangah.
Bayangkan saja, untuk melihat atap rumahnya aku harus mendongakkan leherku sampai pol. Rumah megah dua tingkat ini seperti istana di film Cinderella. Pilar-pilar putih setinggi sepuluh meter berjajar di depan rumah.
Kaca mobil terbuka. Pak Supir melongokkan wajahnya. Sebuah alat memancarkan sinar merah, merekam wajah pak supir, dan..
bip!
Pintu pagar berukuran raksasa ini terbuka peralahan. Limosin kembali melaju menuju halaman.
Seorang pria berumur 50 tahun, berambut putih, berperawakan tegap, berwajah tegas sudah berdiri di depan pintu rumah. Bersiap menyambut kami.
"KAU DATANG JUGA AARON! HAHA!" Tak ku sangka bapak itu semangat sekali menyambut ayah. Mereka berdua lalu berpelukan sambil tertawa hangat.
"Halo Anna, apa kabarmu hari ini? apa kabar Bunny?" pria itu menyapaku dan bunny, boneka yang sedang ku peluk, sambil membungkuk.
"Baik! Bunny juga baik!" jawabku tersenyum sambil menyodorkan boneka kelinciku ke wajahnya.
"Bagus, ayo kita masuk!" Ajaknya ramah. Aku mengangguk. Lalu menggandeng tangan Ayah dan melangkah bersama.
Kedua orang dewasa di hadapanku asik mengobrol. Aku asik melihat-lihat lukisan di sepanjang lorong.
"Kau khawatir sekali ya Pinkas?" tanya Ayah sambil tertawa.
"Kau gila ya! Aku sudah hampir mati memikirkan semua ini sendiri! Untung ada kau!" Balas Pinkas sambil menepuk pundak Ayah.
"Haha! Kau tenang saja Pinkas, aku sudah siapkan semuanya dalam tas ini!" ucap Ayah optimis sambil mengangkat kedua alisnya, dan tersenyum tak simetris.
Khas Ayah. Mereka berdua tertawa lagi. Aku jadi penasaran. Apa sih yang ada di tas kulit Ayah?
Kami sampai di ruangan seukuran ruang kelasku. Meja berbentuk huruf U di kelilingi kursi mendominasi di tengah ruangan. Sebuah monitor raksasa terpampang di depan.
Banyak orang yang sudah menunggu Ayah ternyata. Mereka terlihat gusar.
Aku langsung duduk di kursiku. Meja kecil khusus di samping Ayah lengkap dengan cheese cake blueberry, lolipop warna-warni, dan Jus strawberry kesukaanku.
Aku nyengir melihat lezatnya makanan di hadapanku. Ayah membelai rambutku lembut sambil berkata, "Duduk manis ya..dengarkan Ayah bicara nanti."
Aku mengangguk cepat.
Dengan sigap Ayah lalu membuka tas kulitnya dengan menempelkan jempol kanan pada bagian depan tas. Sensor merekam. Klik, kunci tas terbuka.
Ayah mengambil sebuah kristal pipih dan meletakannya di atas meja. Saat itu juga monitor menyala dan menampilkan grafik-grafik yang memusingkan.
Ugh! apa itu? Aku memicingkan mata, mencoba mengerti sambil melahap cheese cake.
"Baik saya mulai, seperti yang Alon Pinkas katakan sebelumnya, ada dua cara untuk memenangkan peperangan ini..
Ayah menyapu pandangan kepada seluruh hadirin.
"Well, pertama dengan military campaign, kita telah sukses menjalakannya bukan? Militer Israel telah sukses membombardir Gaza."
Pinkas dan seluruh peserta rapat mengangguk.
"Kedua, dengan Public Relations Campaign, suksesnya kampanye ini nanti berarti setengah jalan menuju kemenangan peperangan."
Mereka kembali mengangguk. Menunggu Ayah melanjutkan kembali ucapannya.
"Kalian lihat grafik dan serentetan data panjang ini?" Tanya Ayah kepada seisi ruangan. Grafik silih berganti bermunculan. Serentetan data bergerak cepat saking banyaknya.
"Ini adalah daftar kejahatan perang yang Israel lakukan. Kita melanggar 28 Resolusi PBB, dan banyak artikel dalam Konvensi Jenewa IV!" Muka Ayah mendadak serius.
"Kita menciptakan 5,6 juta pengungsi, membunuh ribuan orang, meblokade Gaza, mengisolasi Tepi Barat dengan 440 Km tembok, menerapkan hukum militer pada anak-anak, membangun perumahan ilegal.." Ayah melanjutkan serentetan kalimat lainnya dengan cepat.
"Gila! Ini busuk sekali seperti tahi! Kalau dibiarkan seluruh dunia bisa mengamuk!" Intonasi Ayah meninggi.
Para peserta hanya angkat bahu santai sambil tertawa kecil. Aku mengangguk-angguk mulai mengerti.
Menarik.
"Tapi tenang..." Ayah lalu tersenyum menyebalkan.
"Kita akan ubah tahi menjadi coklat yang lezat!" Ucap Ayah optimis.
"Yeey..aku suka coklat ayah!" Teriakku riang menanggapi Ayah. Sontak seluruh peserta rapat menoleh. Aku salah tingkah.
Ayah tertawa, "bagus nak,"
Lewat sentuhan halus jari Ayah pada benda pipih kristal tadi, grafik-grafik tadi berganti menjadi skema-skema nan rumit.
Aku kembali melahap cheese cake karna tak mengerti.
"Hadirin sekalian, aku persembahkan pada Israel dan Amerika, mesin propaganda paling canggih di dunia!" Ucap Ayah percaya diri.
"Ada tujuh strategi untuk mengubah tahi menjadi coklat ini. Hidden Occupation, Invisible Colonization, Violence in a vacuum, Defining who is Newsworthy, Myth of U.S Neutrality, Myth of the Generous Offer, dan Marginalized voices." papar Ayah sambil memainkan pointer di tangannya.
Riuh tepuk tangan memenuhi seisi ruangan, "KAU JENIUS AARON! JENIUS!" Puji Pinkas setengah berteriak sambil tertawa. Senyum Ayah makin lebar.
Ayah lalu menjelaskan dengan detail tiap strategi tersebut.
"Tapi, saya butuh keterlibatan 96% media di Amerika untuk menyukseskan kampanye Public Relations ini. kau bisa mengaturnya kan?" tanya Ayah sambil melirik Pinkas.
"Itu mudah Aaron, kau sebut saja apa yang kau butuhkan, semua bisa diatur."Jawab Pinkas santai.
Aku masih melahap cheese cake kesukaanku yang tinggal setengah. Masih mencerna obrolan orang dewasa ini yang amat rumit.
Ini menarik sekali bukan? Pantas ayah sering sekali bertemu pejabat dan orang-orang penting negara.
Ayahku punya kemampuan menghilangkan dosa-dosa setinggi gunung.
Mengubah tahi menjadi coklat!
Sumber:
Film Dokumenter "Peace, Propaganda, and the Promised Land" karya Profesor of Communication University of Massachusetts, Sut Jhally dan Bathsheba Ratzkoff.
https://youtu.be/MiiQI7QMJ8w
www.israellawresourcecenter.org
Fourth Geneva Convention

You Might Also Like

0 komentar

Instagram