Satu Guru Bertabur Hikmah

6/14/2017 02:45:00 AM

Salah satu hal yang amat aku syukuri ialah diberikan seorang guru yang amat keren.

Kami bertemu sekitar tiga tahun lalu. Aku langsung terpesona dengan matanya yang seakan menyimpan gelora api. Berkilat kilat penuh semangat. Aku tahu itu akibat cerminan seluruh tempaan kehidupannya.

Aku juga amat suka dengan caranya tertawa. Begitu lepas, lucu, seakan ia tak punya beban hidup.

Aku datang kepadanya bagai pensil yang tumpul. Ia lalu mengajarkanku dengan perlahan. Merautnya pelan-pelan hingga runcing. Lalu mengajarkanku bagaimana menulis.

Bagaimana agar pensilku bisa menghasilkan karya yang bermanfaat bagi orang lain.

Ini yang paling kusuka: Ia ajarkan aku dengan teladan. Dengan bukti nyata, bukan omong kosong.

Pernah suatu hari, ia menyuruhku untuk datang pagi-pagi sekali. Aku bersungut-sungut mengendarai motor dengan malas. Membungkus sarapanku karena tak sempat sarapan. Sebelum mulai pelajaran hari itu,aku makan dengan cepat.

"Ayo cepat Qoonit habiskan," perintahnya tegas. Aku gondok tidak suka makan buru-buru.

Saat pelajaran berlangsung, terdengar bunyi perut keroncongan. "Kruyuuk..kruyukk.."

Guruku nyengir lebar, "maaf ya, ibu lupa makan malam dan sarapan tadi..," ucapnya santai saja.

Suasana hening. Lalu semua muridnya heboh menyuruh ia untuk makan. Ia malah melanjutkan pelajaran.

Aku terpuruk. Betapa malunya aku sudah kesal pagi ini. Padahal jelas jelas perutku yang paling kenyang.


Pernah suatu hari ia menyuruhku untuk belajar berhemat dan beramal. "Disisihkan uang jajannya, beli yang perlu saja, bedakan antara kebutuhan dan keinginan..."

"Keju bisa diganti teri, jus buah bisa diganti buah, es krim bisa diganti susu, kamu harus belajar hemat. Kenadalikan nafsu perutmu," begitu berderai derai petuahnya.

Mati-matian aku mengerjakannya, tapi susah sekali. "Kenapa hidup harus menderita gitu sih, kenapa gak boleh makan yang enak-enak.." batinku sinis.

Diakhir baru ku tahu. Ia sebenarnya sosok yang amat kaya. Kalau mau ia bisa tinggal diperumahan elit, banyak mobil, hidup layak. Tapi nyatanya, Ia hidup sederhana. Amat sedikit bagian uang untuk kenikmatan dirinya.

Ia sering membagikan sembako pada tetangga tetangga yang kekurangan. Membiayai hidup orang yang sedang sulit, dan menghabiskan ratusan juta untuk kebaikan-kebaikan lainnya.

Pengorbanan materinya jauh jauh lebih hebat dariku.

Aku lalu terpuruk lagi. Betapa sulit aku untuk berhemat. Betapa pelit aku untuk beramal.


Pernah suatu hari, ia menyuruh untuk tepat waktu mengerjakan tugas yang ia berikan. Kondisiku sedang sakit. Kepalaku pening, ingus mengucur deras, batuk membuat tenggorokanku perih, perutku sakit.

"aku lagi pusing banget bu, maaf dong tugasnya telat," begitu aku beralasan. Ia lalu memberi kelonggaran. Telat beberapa hari dari deadline, aku kumpulkan langsung ke rumahnya.

Lalu baru aku tahu. Tubuhnya ternyata lebih menderita dariku. Dalam satu tubuhnya, ada banyak penyakit. Namun, aktivitasnya amat banyak. Ia manusia super sibuk!

Sakitku yang hanya bikin ingus meler, tak ada apa-apanya dibanding ia yang harus merasakan nyeri pada tulang belakangnya tiap malam.

Aku lalu terpuruk lagi. Baru sakit sedikit saja, tapi sudah amat manja. Mudah beralasan, dan tidak disiplin.

Lihat kan?

Begitulah cara ia mengajariku. Ia tampilkan berderai-derai teladan dalam tiap waktuku bersamanya.

Ada satu kalimat yang sering ia ucapkan, tapi amat ku benci,

"Cobalah untuk melepaskan semua ikatan duniawi qoon..lepas ikatanmu dengan harta, keluarga,kesehatan, berikan semuanya untuk Allah..

Jadi saat Allah panggil suatu hari nanti, kita akan selalu siap.."

Ucapnya lirih, sambil berbaring menahan sakitnya yang kambuh.

Hatiku sesak menahan tangis. Kenapa sih orang ini senang sekali ngomongin kematian.


Terima kasih sudah jadi guru yang hebat bu. Pasti ia tidak suka kalau ku sebut namanya di tulisan ini..jadi ku rahasiakan yah..semoga teladan dan hikmahnya tetap bisa sampai.

Selamat hari pendidikan!

You Might Also Like

0 komentar

Instagram