Karya Segenggaman Tangan

6/14/2017 02:31:00 AM

Ada teknologi super canggih yang sering tidak disadari manusia. Letaknya dekat sekali, harganya tak ternilai, sudah ada sejak jutaan tahun lalu, tapi sering tidak dimanfaatkan dengan baik.
Teknologi itu bernama tangan.
Sebuah paduan tulang belulang dengan sendi-sendinya yang presisi, berbalut daging otot, dilalui lalu lintas pembuluh darah bolak balik yang bergerak dengan amat disiplin. Ujung teknologi ini dilengkapi dengan jari jemari. 28 jumlah ruasnya. Dapat bergerak lentur mengerjakan hal yang amat detail.
Coba perhatikan kedua tanganmu. Hingga saat ini pun, tak mampu manusia menciptakan teknologi sehebat tangan.
Hebatnya sebuah tangan ini. Para ulama dahulu dapat menulis beratus ratus buku dengan tangannya. Hanya dengan kertas dan pena sederhana, lentera api kecil jika malam hari menjelang. Keterbatasan tak menyurutkan sedikitpun mereka berkarya.
Bahkan untuk menduplikasikan buku pun mereka harus menulis ulang dengan tangannya, tak ada alat scan atau photocopy. kita? mengetik puluhan lembar saja sudah ribut mengeluh.
Satu orang bisa menulis ratusan jilid buku. Jika ada 1000 ulama? bisa kau bayangkan banyaknya karya pada zaman itu? bisa kau bayangkan bagaimana kebiasaan membaca mereka? bisa kau bayangkan kebiasaan menuntut ilmu mereka?
Bukan main!
Mereka lah jiwa jiwa penuh gelora. Jiwa-jiwa yang haus akan ilmu pengetahuan, lalu makin menggebu untuk menyampaikannya kembali. Jiwa yang akan selalu cemas jika satu detik saja terlalui dengan sia-sia.
Seperti Imam Bukhari yang langsung terlecut semangatnya saat gurunya berharap, "Andai saja ada yang mau mengumpulkan hadits-hadits sahih, lalu menuliskannya dalam sebuah kitab,"
Tanpa babibu, ia langsung mengerjakan mega proyeknya siang dan malam. Ia tahu benar proyek ini akan sangat bermanfaat bagi umat muslim kelak. Dan benar saja, nama Imam Bukhari masih terus bergaung hingga hari ini. Karyanya abadi, berpengaruh dalam kehidupan manusia.
Seperti guru Imam Bukhari, Ubaid bin Ya’isy, yang selama 30 tahun tidak pernah makan malam dengan tangannya karena amat sibuk menulis hadits. "Saudara perempuanku lah yang menyupaiku," ujarnya.
Seperti Imam Al-Khatib Al-Baghdadi, ahli hadits dari Baghdad, bahkan dalam keadaan berjalan sekalipun ia masih tetap membaca dan menelaah buku.
Seperti Abu Abdillah, yang jika musim panas tiba, ia menulis sambil berendam untuk menjaga kondisi tubuhnya agar tetap dingin.
Seperti Ibnu Manzhur, yang selalu menghabiskan malam-malamnya untuk menulis. Ia bahkan meletakkan bejana air di sampingnya agar saat kantuk menyerang, dibasuh lah air tersebut pada mukanya.
Seperti Abu Sa’d As-Sam’ani yang tetap produktif menulis, walau kesepuluh jarinya harus diamputasi karena sebuah penyakit. Ia gunakan telapak tangan, dan kedua kaki untuk memegangi kertas agar tetap bisa menulis.
Seperti Ibnu Main yang amat produktif, hingga mampu meninggalkan 100 rak buku dan 14 belas wadah besar berisi karya tulisnya selama ia hidup.
Seperti Ibnu Syahim yang telah menulis 330 karya tulis. Ibnu Aqil, yang menulis dalam berbagai disiplin ilmu sekitar 20 buku. Dan karya terbesarnya adalah Al-Funun yang terdiri dari 400 jilid (bahkan sebagian ulama mengatakan 800 jilid).
Seperti Ibnul Jauzi, yang selama 89 tahun hidupnya, telah merampungkan 500 kitab!
Seperti Ibnu Taimiyah, yang bahkan karyanya tak dapat dihitung, “Adapun karya tulis Ibnu Taimiyah, sungguh telah merata ke seluruh dunia dan sangat banyak sekali hingga tidak mungkin bagi seseorang untuk menghitung atau mendatanya.” ujar Ibnu Rajab.
Jutaan karya menerangi. Mereka tahu benar cara menggunakan teknologi canggih, bernama tangan itu. Islam gilang gemilang. Ilmu pengetahuan maju dengan amat pesat!
Maka tak heran pada 1258 M, saat pasukan Tartar dari Mongolia, yang dipimpin Hulagu Khan menaklukkan Baghdad, kavalerinya membuang buku-buku yang berada di perpustakaan Bagdhad ke sungai Tigris.
lebar Sungai Tigris mirip Sungai Nil, kedalamannya 10-11 meter. Ribuan buku, ribuan ilmu dihambur-hamburkan ke atasnya, bertumpuk menjadi jembatan untuk kuda-kuda menyebrang. Air sungai menghitam penuh lunturan Ilmu pengetahuan.
Maka tak heran, saat abad ke-11, saat Andalusia menemui ajalnya, Reconquista Kristen Spanyol membakar satu juta buku dalam sehari di lapangan Granada. Jutaan ilmu pengetahuan terbakar. Berterbangan menjadi abu menyesakkan seisi kota.
Begitu gambaran bagaimana dahulu karya karya besar begitu melimpah walau dalam keadaan serba susah.
Lalu bagaimana dengan kita?
Seharusnya dengan perkembangan zaman yang amat pesat, karya yang kita hasilkan jauh lebih banyak dari mereka.
Berapa banyak orang yang harga perawatan tangannya ratusan ribu per bulan, tapi tak senilai dengan karya yang ia hasilkan.
Berapa banyak orang yang harga leptopnya senilai puluhan juta rupiah, dilengkapi puluhan software canggih, dengan procesor berkecepatan tinggi, tapi tak mampu seproduktif para ulama dahulu.
Berapa banyak orang yang tinggal dalam apartemen nyaman dan mewah, tapi tak mampu membuat karya sefenomenal tafsir Fizhilalil Quran yang ditulis di dalam penjara lengkap dengan siksaan.
Ternyata berkarya bukan tentang seberapa lengkap fasilitas yang kau miliki. Bukan tentang seberapa mahal peralatan yang kau punya. Ini tentang hati. Seberapa kuat ia menggebu untuk mampu bermanfaat bagi sebanyak mungkin manusia.
Karena teknologinya sudah ada digenggaman tangamu. Sekarang tinggal bagaimana kau mau menggunakannya.
#KaryaSegenggamanTangan
Jakarta, 12 April 2017
-Qoon yang sedang berusaha memotivasi dirinya😂
Sumber:
- "Spirit Menulis untuk Dakwah" karya Fachmi Casofa
- "Zach King: The Storyteller in all of us" https://youtu.be/VMIpxqeoI1c
http://penachandra.blogspot.co.id/…/meneladani-para-ulama-d…

You Might Also Like

0 komentar

Instagram