The Sword

11/05/2016 12:02:00 AM

Aku masih berdiri mematung. Memperhatikan lekat-lekat tiap lekuk benda di hadapanku. Perempuan di sampingku sudah sejak tadi terisak-isak.
Sebuah pedang nan bersahaja tengah beristirahat di sana. Di sebuah aquarium kaca dengan sentuhan artistik cahaya. Ia disimpan dengan amat terhormat dan terjaga.
Seakan dunia berkata, "Beristirahat lah kau pedang. Terima kasih atas perjuanganmu dahulu. Kau menangkan banyak pertempuran."
Walaupun terlihat bersandar anggun, nampak jelas jiwa kesatria, keberanian, dan pengorbanan, yang dulu pernah ia torehkan.
"Pedang Rasulullah SAW." begitu tulisan kecil di hadapanku.
Aku merinding. Lalu tak kuasa membendung air mata. Mulutku tak henti bersalawat. Saat itu aku merasa dekat sekali dengan Rasulullah SAW.
Itu pedang yang dahulu Rasulullah genggam. Itu pedang yang ia tebaskan dengan gagah berani pada Perang Badar, Perang Uhud, Perang Tabuk, dan peperangan lainnya.
Salam hormat padamu ya Rasulullah SAW. Kau torehkan catatan sejarah terbaik bagi semesta. Kau wariskan teladan dan pelajaran berharga bagi seluruh alam.
Aku langkahkan kakiku pada pedang selanjutnya. Ia bersandar dengan gagah berani. Pedang paling besar dan panjang, berwana hitam legam. Walaupun terlihat kusam, masih tampak dengan jelas kekuatan dan keberaniannya yang tak takut dengan apapun.
Ialah pedang Umar bin Khattab.
Semua cerita tentangnya di buku yang tebal berjilid-jilid seakan tampak nyata. Berkelebat di dalam pikiranku.
Umar bin Khattab yang tak pernah mau melewatkan perang bersama Rasulullah. Umar yang gagah berani meluaskan negara Islam hingga wilayah Maghreb, Iraq, Iran, dan Syria dengan kecepatan tinggi. Umar yang gagah berani memimpin ribuan pasukannya membebaskan Palestina.
Sebuah pedang yang tak kalah lelahnya dahulu dalam berjuang. Sekarang ia beristirahat dengan tenang karena tugasnya telah usai. Kisahnya berakhir indah.
Lalu ada pedang Abu Bakar, Usman, Ali, Amr, dan Ja'far. Semua memilki karakteristik dan kisahnya masing-masing. Namun satu hal yang sama: hanya dengan bersandar, ia mampu melecutkan semangat dan gelorakan hati, orang-orang yang melihatnya.
"Sekarang mana pedangmu?" tanyaku dalam hati.
Setiap orang memiliki pedangnya masing-masing. Tinggal sejauh apa ia mau mengasahnya. Sekeras apa ia mau berlatih menggunakannya. Seberani apa ia mampu memainkannya dalam medan laga.
Tentu zaman telah berhanti. Pedang saat ini bisa berbentuk artikel, buku, lagu, jurnal ilmiah, desain, video, orasi, kebijakan politik, wirausaha, obat-obatan, riset ilmiah, apapun.
Karena tiap pedang yang telah Ia titipkan padamu akan dipertanggungjawabkan. Karena kelak masa muda akan ditanya kemana perginya.
Semoga nanti, saat masa perjuangan di bumi telah usai, pedang-pedang kita mampu bersandar dengan anggun. Melecut dan menggelorakan semangat banyak orang.
- Inspirasi tulisan datang usai main ke Istana Topkapi, Istanbul, Turki.

You Might Also Like

0 komentar

Instagram