The Real Leader

7/04/2016 12:05:00 AM

Di Indonesia, Presiden yang menjabat sepuluh tahun cukup membuat rakyat muak. Apalagi tiga puluh tahun, cukup membuat rakyat membakar apapun yang ada di jalan. "Revolusi!" teriak rakyat pada pemimpinnya.

Di Indonesia, masa jabatan lima tahun saja cukup untuk melepas aset aset berharga bangsa untuk puluhan tahun ke depan. Masih di negeri yang sama, masa jabatan lima tahun cukup untuk mengeruk kekayaan negeri, untuk perut sendiri, sanak saudari, dan para petinggi negeri. Sungguh ironi!

Namun nun jauh di sana, hanya dalam masa jabatan sepuluh tahun, seorang pemimpin mampu meluaskan kekuasaannya hingga lintas benua. Menguatkan posisi politik dan ekonomi negara. Rakyat damai, bahagia, dan sejahtera.

Apa rahasianya? Maka simak baik-baik bagaimana pemimpin sejati bekerja.

Hatinya berguncang hebat saat tau dirinya dipilih sebagai pemimpin negara. Bukan berbahagia lalu mengadakan pesta. Justru ia takut dengan amanah besar yang kini ada dipundaknya.

Ia dililih bukan karena ia mencalonkan diri. Apalagi main belakang dengan pemimpin sebelumnya atau orang orang berpengaruh negara. Tapi ia dipilih atas integritas, profesionalisme, dan kemampuannya yang ia buktikan selama hidupnya. Bukan koar-koar narsis di atas baliho atau poster di tengah kota.

Pengangkatannya sebagai pemimpin sederhana saja, tanpa surat suara, kamapanye, apalagi main uang. "Aku angkat ia menjadin pemimpin kalian, apakah kalian akan mematuhinya?" serta merta ribuan rakyat yang berkumpul kala itu menjawab, "kami dengar dan kami patuh"

Begitu mudah dan damai. Tanpa silang pendapat sedikitpun, apalagi aksi anarki.

Ialah sosok pemimpin yang selalu meminta dan mendengarkan pendapat dari berbagai kalangan. Dari golongan tua atas kebijaksanaannya, dari golongan muda atas ide cemerlangnya, bahkan ia tak segan segan meminta pendapat dari seorang wanita, "boleh jadi pendapatnya lebih baik dan benar," ungkapnya.

Wilayah kekuasaannya begitu luas, hingga sebagian eropa dan afrika. Tapi sederhananya melebih bapak lurah desa. Ialah pemimpin yang bersumpah saat tahun kelabu menimpa rakyatnya,

"Aku bersumpah tidak akan merasakan lezatnya samin, susu, dan daging sampai rakyta merasakannya,"

Ia hanya makan minyak hingga perutnya berbunyi keroncongan, lalu berkata "Berbunyilah sesukamu! Demi Allah kamu tidak akan makan samin sebelum rakyat memakannya," begitu keras ia memperlakukan dirinya, tapi begitu lembut dan penyayang ia memperlakukan rakyatnya.

Ialah pemimpin yang tidak terima diberi bagian daging yang paling enak dalam sebuah jamuan makan, "Tidak. Tidak, seburuk-buruk pemimpin adalah bila aku memakan daging yang paling enak lalu memberi makan orang-orang dari daging yang tidak enak," Lalu ia kembalikan semangkung besar daging itu, dan memakan roti dengan olesan minyak.

Bukankah wajar saja jika seorang pemimpin mendapat bagian terbaik? Ah, lupa ya? ia kan pemimpin sejati.

Ialah sosok pemimpin penyayang dan berhati lembut. Tiap malam berkeliling kota, memantau kondisi rakyatnya. Saat ia tahu ada yang kelaparan, tak sungkan ia panggul sendiri sekarung tepung dan bahan makanan lainnya dari kas perbendaharaan negara.

Ialah sosok pemimpin yang adil dalam menerapkan hukum tanpa pandang bulu. Bahkan pada keluarganya sendiri. Ia marah besar saat tahu anaknya menenggak alkohol, dan hanya dihukum cambuk di dalam ruangan.

"Anakku adalah rakyatku juga. Seharusnya kau perlakukan dia seperti rakyat lainnya!" lalu ia sendiri yang mencambuk anaknya di depan publik, di lapangan pusat kota. Malu sudah pasti, tapi ia lebih malu lagi kelak di hadapan Allah jika tak berlaku adil.

Urusan pemerintahan negara pasti pelik memenuhi kepalanya. Namun, tetap melayani curhat remeh temeh rakyatnya dengan senang hati. Ada yang tak terima didzolimi tetangga. Urusan dagang di pasar, dua ibu yang berebut bayi, hingga urusan perceraian rumah tangga.

Ialah sosok pemimpin yang mampu melakukan ekspansi wilayah secara besar-besaran. Namun, yang diekspansi malah bersuka hati. Mereka senang terbebas dari politik tiran, otoriter, dan rasial.

Ialah pemimpin yang berbesar hati dikoreksi pendapatnya oleh seorang wanita, saat berlidato di depan publik. "Pendapat seorang perempuan ini benar, dan pendapat saya salah," Tak malu ia mengaku salah di hadapan rakyatnya.

Ialah sosok pemimpin yang dalam tempo cukup lama tidak mengambil gajinya sedikit pun dari kas perbendaharaan negara. Hingga akhirnya ia sendiri kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lalu ia bermusyawarah dengan para sahabat, "Aku sangat sibuk menangani tugas pemerintahan, lantas apa yang boleh bagi saya atas tugas ini?"

Mereka menjawab, "Ambillah dari baitul Mal  keperluan makan siang dan malammu," Ia menjawab, "Aku posisikan diriku dihadapan harta Allah sebagai seorang wali anak yatim. Bila aku sudah merasa cukup, maka aku tidak mengambilnya."

Ah, bagaimana bisa kalimat tersebut keluar dari seorang pemimpin negara?

Ialah sosok pemimpin yang sangat dekat dengan Allah. Saking dekatnya, setan gemetar dan menyingkir jika ia melintasi suatu jalan.

Wataknya keras, kalimat favoritnya ialah "Ya Rasulullah, izinkan aku penggal kepalanya!" ucapnya saat bertemu musuh Islam. Namun, hatinya begitu lembut, ia mudah menangis saat mengingat hari akhir.

Pernah ia menangis, saat ada seorang Arab Badui  mendendangkan lagu tentang hari akhir. Berderai derai hingga air mata membasahi jeggotnya.

Ialah sosok pemimpin yang selalu mengintrospeksi dirinya secara ketat. Bila ia pernah salah dalam memenuhi permintaan seseorang, maka ia akan meminta orang tersebut menuntut balas atas dirinya.

"Hisablah dirimu sebelum dihisab. Timbanglah dirimu sebelum kamu ditimbang. Dan bersiap-siaplah kamu menghadapi hari paling agung, dimana pada hari itu kamu dihadapkan pada Tuhanmu, tiada satu pun dari keadaanmu yang tersebunyi bagi Allah,"

Siapakah pemimpin sejati itu?

Ialah Umar bin Khattab. Sudah ribuan tahun berlalu, tapi gaung namanya tak sedikit pun meredup. Ia tinggalkan warisan warisan berharga. Berjuta juta hikmah dan pelajaran mampu kita petik dari pribadi agungnya.

Salam hormat padamu duhai pemimpin!

Sumber: The Great Leader of Umar bin Al- Khattab, karya DR. Muhammad Ash-Shalabi

You Might Also Like

0 komentar

Instagram