THIS IS BADUUUYY!

1/25/2014 05:32:00 AM

Satria kalo udah gede mau jadi apa?
Gak mau jadi apa apa, gini aja
gini aja tuh gimana ya?
ya gini
Gak mau jadi guru, pilot, atau dokter gitu?
Engga.
(bzzz -_-) emang ayah kerjanya apa?
petani, ngurusin kebun
Kalo satria sehari hari ngapain?
Main sama temen
Satria pernah jalan-jalan kemana aja?
Di sini aja
Gak mau jalan-jalan? Liat pantai, naik gunung yang tinggi, liat padang rumput yang luas, gak mau?
engga.
(bzzzzzzz -_-) Di depan Desa Baduy Luar tadi ada sekolah, satria sekolah?
engga.
Temen-temen Satria ada yang sekolah?
Engga.
Lah, terus yang sekolah di situ siapa?
Anak-anak dari desa luar
Satria mau sekolah?
Gak mau.
Ibu gak nyuruh?
Ibu malah ngelarang.

Itu wawancara singkat, atau bisa disebut obrolan ringan aku dan Satria, saat trekking menuju Baduy Luar, menuju rumah Pak Samad tepatnya. Satria adalah anak Baduy Luar berumur 17 tahun, kalau dalam mata kuliah wawancara, Satria in tergolong narasumber yang pelit ngomong. Jawabannya singakat-singkat banget siiih, bikin gemesss deh -_-

Sangat jauh dari narasumber kelas kakap, ahaha.. kalau sudah begini, kita harus pintar pintar mengolah pertanyaan. Sayangnya aku belum menjadi pewawancara yang se-expert itu. Mungkin juga butuh pendekatan yang cukup lama.

Sebenarnya bukan itu poin pentingnya. Untuk anak seperti Satria, aku mengharapkan jawaban seperti : aku kalau sudah besar mau jadi guru/ dokter, aku sebenernya mau sekolah kaak, aku pengen deh ngeliat pantai, bisa jalan-jalan.. yak! Semua berkebalikan 180 derajat, jawabannya selalu membuat aku terenyuh. Anak umur 17 tahun yang seharusnya punya impian yang menggebu, yang seharusnya sibuk untuk masa depannya, nyatanya hampa.

Setahuku, impian yang membuat seseorang bisa terus hidup, terus semangat. Nyatanya, ratusan orang di Desa Baduy ini, hidup tanpa mimpi. Terjebak dalam rutinitasnya, saat kecil bermain- remaja menikah- bertani- menenun- mencari kayu bakar- terus sampai tua- meninggal. Selesai! Selesaaaaaai, huaaaa…hidup macam apa itu????

Perjalanan ke Baduy ini seperti menyingkap sebuah tirai raksasa tentang kehidupan di dunia ini, berlebihan memang, di Indonesia, di Jawa, di Jawa Barat. Selama ini aku tinggal dalam lingkungan intelek, berpendidikan, dan melek teknologi.

Surprise!

Di desa terpencil ini, dua jam berjalan kaki dari Alfam*rt terakhir, atau sebut saja peradaban terakhir, melitasi kebun, hutan, sungai, dan jalanan berbatu, bertebaranlah rumah-rumah panggung dari anyaman kayu dan beratapkan Daun Pohon Kirai yang sudah dikeringkan. Betapa sederhana, tanpa listrik, warnanya serupa, bentuknya serupa. Penghuninya pun tidak jauh berbeda, yang pria menggunakan celana pendek, kemeja khas baduy, atau bertelanjang dada, yang perempuan menggunakan kain dan baju dari kain khas baduy, kadang hanya mengenakan kemben. Bertebaranlah orang-orang tanpa mimpi ini, melengo, bengong, ngobrol, atau menenun kain. Begitu setiap hari, berulang-ulang, selama hidupnya.

Wow

Mereka ada ternyata, di tahun 2014 ini

orang-orang ini…menyedihkan

Penjelajahan Desa Kenekes, itu nama perjalanan yang kami lakukan. 
My team!
Tim Baduy ini jumlahnya tujuh orang : 
Aku, Eci sahabat, kembaran, pimpro, dan founder #AkhwaTraveler, haha.. Teh Sarah, Menteri Medfo Kabinet Protagonis, perempuan paling lembut se-geng. Kang Hadiyan, Dewan Penasihat #AkhwaTraveler, kang Fauzan Dewan Penasihat Spiritual #AkhwaTraveler, gak usah dianggap serius lah para dewan penasihat itu, hahaa.. Marwan, calon ketua BKI, terakhir, Kang Fikri, mantan ustadz, temen sekelasku di semester-3. Ini perjalanan #AkhwaTraveler yang kesekian kali, dan Dian masih belom bisa ikut, huuuu..padahal pengen banget bertualang sama akhwat maco satu ini.

Transportasi, Akomodasi, dan Logistik
Penjelajahan Desa Kenekes kali ini banyak banget dibantu sama Dewan Penasihat #AkhwaTraveler itu. Berhubung Eci dengan semena-mena merubah jadwal karena FKG juga semena-mena merubah jadwal ujiannya, persiapan kami jadi amburadul. Alhadulillah-nya kang Hadiyan ada link di Baduy, jadi perjalanan ini bisa berjalan. Terima kasih kang Hadiyaaan, haha.. Aku sendiri ditunjuk sama Eci jadi sie transportasi dan logistik. Terus aku dengan sotaw terima-terima aja, padahal angkot di Jakarta aja aku gak ngerti, muehehe..akhrinya ini juga di-handle kang Hadiyan -_-
berawal dari rumah Qoon
Kami berangkat pukul 7 pagi dari rumahku, di Pasar Rebo, menuju Stasiun Tanah Abang, menggunakan bus Rp9.000. Dilanjutkan kereta api menuju Rangkasbitung, setelah sebelumnya transit di Parung Panjang, harga tiketnya Rp6.000. 
Stasiun Parung Panjang
Tiba di Rangkasbitung, pak Samad sudah menunggu dengan angkot merahnya, trasportasi kami selanjutnya menuju Desa Ciboleger. Pak Samad ini yang akan menjadi guide dan rumahnya tempat kami menginap di Baduy Luar. Jasa Pak Samad dan angkot, pulang-pergi, dihargai Rp570.000 .
Di gerbang awal Baduy, Kepala Desa ini memberikan beberapa sambutan: aturan-aturan yang harus dijalani, sejarah beliau menjadi Kepala desa, dan bla..bla..
lumbung padi warga Baduy 
Jembatan Bambu khas Baduy, kata pak Samad cara membuatnya dengan gotong-royong, tidak sampai setengah hari sudah selesai.
Banyak ditemukan tumpukan gelondongan kayu sepanjang perjalanan. Kata pak Samad selama ini tidak ada banjir dan tanah longsor. Semoga tetap lestari alamnya! :)
otw rumah pak Samad
Untuk Logistik, aku sarankan bawalah makanan secukup mungkin sebelum masuk ke Baduy Luar karena tidak ada pasar, apalagi rumah makan di Baduy. Sebenarnya ada pasar, tetapi pak Samad bilang tempatnya jauh. Menurut saya, kalau sudah orang Baduy yang bilang ‘jauh’ maka itu berarti benar-benar jauh, haha..Bagi logistik untuk makanan pribadi dan untuk diberikan kepada warga yang akan ditumpangi. Nanti, ambu (sebutan Ibu di Baduy) yang akan memasakkan nasi dan lauk yang kita bawa.


Rumah pak Samad, tempat kami menginap.

Untuk Fotografer
Kesalahan terbesarku sebagai orang yang salah satu tujuan traveling-nya untuk hunting foto adalah tidak membawa lensa tele. Sebagian fotografer mungkin berkunjung ke Baduy untuk mendapatkan foto human Interset warga Baduy. Sayangnya, orang-orang Baduy ini tertutup sekali teman-teman. Jangan pernah membayangkan warga Baduy ini seperti orang-orang pada kawasan wisata pada umumnya yang narsis teriak-teriak minta foto Teh foto kita dong teh!, atau yang kegirangan kalau di foto, ketawa-tawa bahagia. Tetooot! Salah besar! Hahaa..jarang sekali orang Baduy yang suka di Foto,
Halo bapaak..saya foto ya
Wah jangan neng
Loh, kenapa pak?
Enggak ah, gak mau
 Itu cara aku memfoto human interest pada umumnya, dengan terlebih dahulu meminta izin. Bapak tua dengan baju khas adatnya menolak aku foto, itu sudah yang kesekian kalinya aku mendapat penolakan. Begitu juga dengan anak-anak yang biasanya ceria dan bahagia kalau aku ajak foto, kali ini juga berbeda.
Haiii..anak keciil, dadah-dadah dong ke kameraaa
*menatap bingung lalu pergi*

-_____- Sedih gak sih digituin? THIS IS BADUY!! hahaaa

Aku yang belakangan ini hobi bikin video, dari awal juga merencanakan akan membuat footage aktivitas warga Baduy di lingkungan perumhannya. Terbayang para warga Baduy; anak-anak, pemuda-pemudi, ibu-bapa, nenek-kakek, berlalu lalang di antara rumah-rumah khas Baduy. Nyatanya, kriik..krik..kriik....sepiiiiii, semua berdiam diri di rumah. -___- failed!
Salah satu anak yang berhasil difoto. deek senyum doong, haha
Saranku sih, bawalah tele untuk membidik ke-khasan warga Baduy ini.
Hamparan hutan lindung di Baduy, tidak boleh ditebang.
Untuk yang menyukai foto landscape, kalian harus naik dulu ke atas bukit, baru menemukan hamparan perbukitan nan hijau. Kalau tidak, hanya perumahan khas Baduy yang akan kalian dapatkan. 
Suasana sekitar perumahan warga Baduy
Jalan dengan susunan batu-batu alam menjadi ke-khasan suasana Baduy
Hutan, kebun, rumah-rumah adat, semua terlihat dari atas bukit. Indah membentang, Masya Allah..Memang harus ada usaha yang dikeluarkan, berjalan lah sedikit menanjak. Lokasi yang bagus untuk sunset, sunrise, apalagi motret bintang. Untuk para astrofotografer, di Baduy tidak ada listrik, tinggal menunggu langit cerah, maka bintang akan bertaburan. Huaaaa *.*

Kalau kalian beruntung, kalian bisa memotret gotong royong warga Baduy saat menghanyutkan kayu.
Warga Baduy bergotong royong menghanyutkan kayu
maaf agak porn -_-
Bapak ini sedang mengahnyutkan kayu-kayu yang tersangkut di batu.
Anak-anak bermain membuat lingkaran ombak di sungai
Anak kecil ini juga membantu menghanyutkan kayu yang tersangkut di batu
Untuk upacara adat warga Baduy, tidak bisa difoto karena pada hari perayaan wisata ditutup. Hofff…dasar Baduyyyy -__-

Traveler? Am i?
Sayangnya semua momen itu tidak terjadi padaku. Wahahahahahahhaaaa.. Dalam perjalanan kali ini, jiwa traveler-ku sangat diuji. Menurutku, traveler itu orang yang bisa menikmati, bahagia, nyaman, di semua kondisi, sesulit apapun, dengan siapapun. Hebat sekali traveler itu yah! Haha :D
Namun, kali ini, sumber-sumber kebahagiaan terenggut! (lebey banget -_-). Anak-anak susah diajak foto, yang tua juga susah. Siang mendung, no sunset, no sunrise, no stars. 
Saat-saat makan :')
Apalagi saat-saat makan, dengan makanan super sederhana: nasi, ikan asin/sosis/mi instan/ kornet. Aku harus berjuang menghabiskannya. Huh, gak traveler banget gak sih akuuu. Sumber kebahagiaanku hanya tinggal kaliaaan my team!

Pengabdian
Dalam perjalanan kali ini, kami tidak hanya sekedar jalan-jalan. Kami juga mengadakan pengabdian, berusaha memberi manfaat pada warga Baduy. Ini rencana awal kami..
Buat ini sambil ketawa-tawa.
Terlihat keren yaa posternya! Hahhaaa…tetapi sayangnya, yang terwujud hanya rencananya Gracety Shabrina alias Eci. Temanku yang satu itu semangat sekali ingin memperbaiki gigi warga Baduy. Salut ciiii! Di tengah kerasnya berbagai penolakan dan tertutupnya warga Baduy, Eci tetap semangat memberikan penyuluhan bagaimana sikat gigi yang benar dan apa yang harus dilakukan untuk menjaga gigi. Saat Eci memeriksa gigi anak Baduy, perih memang. Eci dengan antusias bernyanyi cara mengosok gigi kiri atas, kanan bawah, lalalalala~ sementara anak kecil, target pasien, hanya diam, melihat Eci pun tidak. SEMANGAAAAT CIIII! Akhirnya calon dokter gigi ini, berhasil membersihkan mulut dua anak Baduy loh! Alhamdulillah..
Eci sedang menyikatkan gigi Arya (anak Baduy)
Adat Baduy
Banyak sekali adat di Baduy. Wisata sesungguhnya dari Baduy ya memang mengenal lebih dekat adat mereka. Baduy terbagi dua, Baduy Luar dan Baduy Dalam. Untuk warga Baduy yang imannya tidak kuat kuat amat: 
tidak tahan bepergian dengan jalan kaki, tergoda untuk naik angkot, kereta, bus, dll
tidak tahan tanpa wc
menggunakan listrik walau hanya dengan aki
menggunak telepon seluler
Maka dengan serta merta kelakuan ini akan diketahui kepala suku, entah bagaimana caranya, dan orang yang bersangkutan akan segera diusir dari Baduy Dalam, turun kasta jadi Baduy Luar.

Setelah menjadi warga Bady Luar, bukan berarti mereka boleh berbuat seenaknya. Menurut penuturan pak Samad, setiap tahun akan diadakan Pemutihan. Sebuah kegiatan, saat ketua suku melakukan inspeksi ke rumah-rumah warga dan melempar barang-barang yang tidak sesuai Adat Baduy ke jalan. Alhasil, pada hari itu barang-barang 'terlarang' berserakan di jalan. Keren gak sih kalo difoto! Hahhaaa *salahfokus*

Ada adat yang harus dicontoh dari Baduy seperti tidak boleh mencuri, berzina, dan bertengkar. Mereka benar-benar mematuhinya loh! "Tidak pernah ada kasus pencurian di sini" kata kepala desa. Begitulah akhirnya suasana Baduy menjadi tenang, damai, hening, sepiiiii...

Untuk penanggalan mereka memiliki sistem tersendiri dengan cara melihat bulan. Aku tidak terlalu mengerti saat pak Samad menjelaskannya, waktu itu aku sedang berjuang menghabiskan makanan, hhaahaa :D
Nama bulannya: Sapar, Kalima, Kaenam, Katuju, Kapitu, Kadalapan, Kaselapan, Kasapuluh, Apitlemah, Apitkau, Kawalu, Katiga. Pada bulan Kawalu, warga Baduy bersuka cita dengan hari perayaannya. Agama yang mereka anut Sunda Wiwitan.

Baduy terdiri dari tiga desa; Cibeo, Cikesik, dan Cikertawana. Dipimpin oleh ketua adat, yang mereka sebut Jaro. Ada lembaga legislatifnya, yang mereka sebut Pu'un, berisi sembilan orang yang bertugas membuat peraturan.
Jembatan pembatas Baduy Luar dan Baduy Dalam. "Setelah ini tidak boleh foto-foto lagi ya" kata pak Samad
Dipertahankan atau Dibina?
Ini tahun 2014 ini, di saat zaman sudah canggih, semua hal menjadi mudah dengan teknologi, informasi mudah diakses, tetapi di Baduy tak ada yang berubah sejak puluhan tahun silam. Khususnya Baduy Dalam. Semua stastis; pakaian mereka, rumah, teknologi, cara berpikir. Menurut kalian haruskah ini dipertahankan?

Kalau menurut ayahnya kang Hadiyan, warga Baduy dan adatnya harus diperthankan. Menurutku tidak.

Mereka punya hak yang sama untuk berkembang. Punya hak yang sama untuk menjadi lebih baik. Ini yang paling penting: mereka punya hak yang sama untuk mengenal Islam. Sama halnya seperti suku-suku terasing di Papua sana, pemerintahnya membiarkan mereka terus terbelakang dengan alasan melestarikan adat dan budaya, padahal alam Papua betapa kaya. Kalau mereka diberdayakan, pintar, dan maju, bukankah akan lebih baik. Mau sampai kapan mereka tertinggal, mau sampai kapan perang suku. Dibodoh-bodohi penguasa.

Budaya akan terus berubah sepanjang waktu, itu pasti. Kalau berubahnya ke arah kebaikan, berarti itu harus dilakukan. Entah, kesatria pemberani mana yang mau tinggal di Baduy dan memberikan mereka pencerahan. Mungkin ka Fau yang katanya mau masuk menjadi Pu'un, hahaaa :D

Hikmah
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari perjalanan kali ini. Pertama, bersyukur! Alhamdulillah karena Allah menakdirkan saya terlahir di keluarga yang melek teknologi, pendidikan, yang terpenting: lahir di keluarga yang mengerti Islam.
Saat trekking menuju Baduy Dalam pak Samad mengatakan quote dalam bahasa sunda, ini artinya : Jangan takut saat jalanan menanjak karena pasti akan ada turunan, Jangan terlalu senang saat jalanan menurun karena pasti akan ada tanjakan. Cerminan hidup banget gak tuh.
Belajar patuh sama warga Baduy. Mereka saja bisa patuh pada peraturan yang dibuat oleh Pu'un, padahal banyak peraturan yang sebenarnya tidak beralasan, kenapa itu harus dijalankan? apa manfaatnya? Nah, apalagi perintah dari Allah, yang jelas-jelas banyak sekali manfaat dan hikmahnya kalau kita jalankan.

Hikmah tadi menutup cerita Penjelajahan Desa Kenekes kali ini.

Sampai jumpa di petualangan selanjutnya!
Salam #AkhwaTraveler!
Alam-Islam-Indonesia

You Might Also Like

0 komentar

Instagram