Impian Aya

7/10/2011 08:41:00 PM

Rintik air hujan semakin menambah kesenduan Aya. Di kamarnya yang bercat pink dan bintang-bintang yang menghiasi kamarnya ia duduk sendiri di depan meja melajarnya. Bintang-bintang itu seakan menemani kesedihan Aya hari itu. Aya sedari tadi masih saja memandangi baju seragam putih abunya.

Seragam itu tergantung rapi di lemari bajunya. Semakin ia memerhatikan seragamn itu semakin fikirannya melayang ke sekolah satu tahun yang lalu. Aya yang selalu semangat pergi ke sekolah pagi pagi sekali, Aya yang selalu penasaran akan pelajaran pelajaran baru saat di sekolah, senyum guru guru yang tersenyum menyambut Aya, dan canda tawa bersama teman temannya di sekolah. Semua membuat air matanya menetes.

"Aya masih ingin sekolah"lirihnya. Kini air matanya mulai mengalir deras, dengan sigap Aya terus mengusap air matanya yang terus mengucur deras. Aya ingin menjadi anak yang tangguh, Aya ingin selalu menjadi anak yang ceria! "hhh..gini doang gak bisa membuat Aya sedih, ya Allah bantu Aya!" sambil menguatkan hatinya dan menghapus semua air mata yang sudah membasahi pipinya. Aya berjalan keluar kamar.

Berbeda dengan Bia yang sangat gembira di kamarnya, kaki kecilnya riang melangkah kesana kemari menyiapkan perlengkapan sekolah untuk esok hari. "Waah semangat ya beres beresnya!"Aya menyapa adiknya. "Iya dong Kaaak, besokan Bia pertama kali masuk SMP" Senyum merekah di wajahnya. "Ciee yang udah SMP.. udah gede ni sekarang!"Sahut Aya sambil mengacak ngacak rambut adiknya yang hitam berkilau. Takut air matanya tumpah lagi Aya segera pergi dari kamar Bia.

Bia, kamu beruntung masih bisa sekolah. Batin Aya. "ah, kalau lagi begini tidak ada yang lebih menyenangkan dari melukis!" Sahut Aya riang. Ia segera menuju ruang lukis yang ternyata sedang ada yang melukis di sana. "Eh, ada Ayah!"sapa Aya. Ayahnya yang berprofesi sebagai pelukis hanya tersenyum. Wajahnya yang sudah penuh keriput menunjukan banyak cobaan hidup yang telah ia hadapi. Kali ini Ayah sedang menggambar padang rumput luas ketika malam hari dengan satu pohon besar di tengahnya seakan merajai gambar tersebut, jutaan bintang bertaburan pada kanvas Ayah. "Ayah gambarnya bagus banget! nanti ajarin Aya yaa" Kagum Aya. Ayah masih saja menjawab dengan senyumnya yang bersahaja itu.

"Aya, maafin Ayah ya"Ayah tiba tiba menyahut. "Ah, pasti karna sekolah Aya kan! santai aja kali Yah" Aya berusah tersenyum walaupun hatinya kembali teriris. "Ah, Ayah tau kamu masih sangat ingin sekolah! Ayah payah ya" Kata Ayah dengan santai. Aya bergegas mengambil kanvas dan peralatan lukisnya, sambil menahan air matanya yang sebentara lagi akan tumpah "Udahlah Yah! sekarang mending ajarin Aya melukis bintang. yayaya" Senyum palsunya merekah untuk Ayah. Ayah membalasnya dengan senyuman.

Tangannya terus melukis mengobati hatinya yang sedang hancur lebur. Bukan! ini semua bukan salah Ayah! Memang biaya sekolah yang sekarang semakin mahal. itu semakin membuat Ayah tercekik. Tangan Ayah sudah terlau renta untuk melukis. AH! kenapa aku tidak bisa berbuat apapun! Kenapa!kenaaapaaaa!! Batin Aya semakin panas, ia ingin marah, ingin menangis, ingin berteriak, tapi tidak bisa. Mukanya mulai memerah dan air matanya menetes perlahan. membasahi kembali pipinya yang tadi sudah kering.

Ayah mendekati Aya yang sudah terisak isak sambil terus melukis. "Ah, Aya cengeng ya Yah?" Aya menyesal tidak dapat menahan air matanya, ini pasti membuatt Ayah semakin sedih. "Menangislah Aya, tidak apa, tumpahkan saja semua di lukisanmu"Ayah mengelus punggung Ayah seakan mengirimkan energi ke Aya untuk selalu menjadi anak gadisnya yang kuat. "Ayah benar! pasti hasilnya akan sangat bagus"Aya semakin garang menggoreskan kuasnya pada kanvas, warna demi warna ia campurkan, semuanya bersatu padu dalam lukisan Aya.

Air mata Ayah menetes perlahan tanpa diketahui Aya. Hati Ayah teriris iris melihat putrinya yang masih ingin sekolah, Ayah sangat ingin melihat Aya masih bisa bersekolah, Ayah sangat ingin melihat anaknya kembali ceria seperti biasa. Tapi ia tidak bisa.

You Might Also Like

0 komentar

Instagram