Sikap

11/20/2016 10:11:00 PM

Aku masih menggerutu sejak tadi. Diam di pojokkan. Tak mau berbicara dengan siapa pun. Aku marah dengan semuanya.

Dari kejauhan ku lihat kepulan asap, diselingi dentuman tembakan. Hal biasa yang setiap hari ku lihat. Hari ini serdadu Israel kembali menyerang desa kami.

Bagiku mereka sekumpulang orang gila yang tak tahu malu. Aku marah. Tapi aku lebih marah lagi kepada keluarga dan sahabat-sahabatku.

Mereka melempari tentara bengis itu dengan batu. "Allahu Akbar!" teriak kakakku sambil melempar sepenuh tenaga.

Setiap ke luar rumah mereka mengumpulkan kerikil dalam kantung kecil. Kemudian melempari tentara Israel, bahkan tank-tank sebesar rumah.

"Pletak!"

Suara benturan kecil antara kerikil dengan lapis baja tank. Aku tak habis pikir mengapa mereka mau melakukannya. Ini hanya buang buang waktu. Jelas mereka tak akan menang.

dan yang paling aku benci: teman-temanku bisa dengan mudah mati. Aku benci.

Aku juga benci ayah dan ibuku yang selalu membangun rumah setiap kali buldoser Israel menghancurkan rumah kami. Aku ingat dulu bagaimana aku meronta, menangis-nangis sambil dipegangi ayah. Ibu sudah sejak tadi menangis, memukuli tentara Israel, yang aku tahu tidak akan merubah apapun.

Aku tak rela mereka menghancurkan rumah kami. Rumah tempat aku bermain dan tumbuh besar bersama ayah dan ibu.

Itu kali kedua ayah dan ibu membangun kembali rumah kami. Sebentar lagi ku yakin akan ada buldoser besar datang untuk menghancurkannya kembali. Aku benci.

"SUDAH CUKUP! JANGAN LAKUKAN INI LAGI! INI TAK ADA GUNANYA!" Teriakku sambil terisak di pojokkan.

Kawan-kawanku yang masih melesatkan kerikil dengan kekuatan penuh diantara letusan senjata api, hanya melirik sekilas ke arah ku. Lalu kembali masuk dalam kepulan asap.

"DOR!"

Satu sahabatku tumbang di sana. Air mataku berlinang. Sudah ku bilang ini sia-sia. Harus berapa banyak lagi kawan-kawanku yang mati. Aku benci. Tangisku semakin kencang.

Sementara itu, ribuan kilometer jauhnya dari negara tersebut. Seorang pemuda berjas dengan gaya perlente tengah menikmati makan siangnya di kafe sebuah hotel mewah setinggi 30 lantai. Sambil memotong tanderloin di temani jus delima kesukaannya, ia berbincang dengan rekan bisnis andalannya.

"Kau lihat orang-orang di bawah sana? menurutku mereka hanya buang-buang tenaga. Berteriak lah sesukamu, toh kekuasaan negeri ini dipegang oleh para pengusaha besar cina!"

orang yang diajak ngobrol hanya terkekeh.

"Lihat saja. Tak akan ada hasilnya." lanjutnya sambil mengunyah tenderloin favoritnya.

Dari ketinggian 30 lantai, dua juta pendemo berpakaian serba putih terlihat layaknya karpet putih raksasa yang tengah dibentangakan. Riuh suara orasi dan sahutan takbir terdengar sayup-sayup dari ketinggian tersebut.

"Bahkan kabarnya yang mulia Presiden pun tak akan menemui mereka." seru sang rekan bisnis menanggapi lawan bicaranya.

"Bagi pemerintah ini hanya gertakan kecil saja. Cobalah pakai cara yang cerdas sedikit bung, haha!"

Makan siang mereka hari itu dihiasi gelak tawa, merendahkan jutaan pendemo pada 4 November silam.

**

Sementara itu, bergeser ke barat ribuan kilometer melintasi Samudera Hindia, seorang remaja tengah asik menyiapkan sebuah aula kecil. Hari itu ia menjadi panitia sebuah kajian ke-Islaman.

"Hai Ali! sibuk sekali hari ini. Berdakwah lagi ya?"

"Hai Sam! Sini ikut! ujar Ali membalas sapaan dengan ceria.

Sam berjalan menghampiri. "Kemarin ku dengar yang hadir hanya lima orang ya? Kau tahu kan di sini mayoritas orang-orang sekuler. Mereka tak peduli pada agama Ali! lebih baik kau berdagang, dapat duit."

Ali hanya tersenyum sambil berkelakar, "Nah, berarti kau harus ikut kajian hari ini sam."

"Haha! Kau gila! Aku ateis Ali. Pergi dulu ya!" ujar Sam menepuk pundak Ali, sambil pergi.

Ali menarik nafas dalam, tersenyum melihat punggung Sam yang semakin menjauh. Lalu melanjutkan kembali aktivitasnya.

**

Mataku bengkak. Aku masih kesulitan mengatur nafas karena tangisanku tak kunjung reda. Baru saja aku usai menyolati jenazah sahabatku.

Aku duduk di pelataran masjid yang sudah hancur sebagian bangunannya. Memandangi puing-puing rumah yang hancur dihujani roket Israel tiga hari yang lalu. Hatiku masih kelabu.

"Kau masih murung saja zaid, tak bahagia kau kawan kita baru saja syahid? Surga untuknya."

Salah satu kawanku datang sambil menyenggol bahuku. Aku tak tertarik.

"Kau tahu zaid? Bukan hanya kita di bumi ini, semut kecil yang melawan raksasa. Kerikil melawan tank. Kamu tahu kenapa kita masih saja melempar kerikil?"

Aku masih diam, bahkan tak menoleh.

"aku tahu lawannya senjata api, roket, tank, hingga serangan udara. Aku tahu itu akan membuat kita terbunuh dengan cepat. Tahu kamu kenapa?"

Aku hanya mengangkat bahu. Tak mau peduli.

"Itu namanya sikap Zaid!"

Aku masih diam.

"Sikap kita. Bukti bahwa kita menentang penjajah Israel. Bukti bahwa masih ada yang berjuang di sini. Buki bahwa kita masih ada. sebatas itu zaid."

Hatiku tertohok. kalimat 'Kita masih ada' terus terngiang di kepalaku.

"Coba kau bayangkan jika kita hanya diam saat tentara Israel meneror desa-desa. Melarang orang solat, menghancurkan rumah, sekolah, rumah sakit. Coba kau bayangkan kalau semua orang mengungsi, meninggalkan Palestina. Coba kau bayangkan zaid!"

Air mataku ingin tumpah. Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku mengerti sekarang.

"Dan yang paling penting. Kau sudah siapkan jawaban jika di hari perhitungan nanti Allah bertanya, "Apa yang kamu lakukan untuk menjaga Al-Aqsa?""

Hati dan pikiranku berkecamuk. Aku merasa amat bodoh.

"Ini bukan tentang kerikil melawan tank zaid. Ini tentang sikap seorang muslim. Sikap kita menghadapi musuh-musuh Allah."

Bahuku berguncang hebat. Aku menangis keras, dan langsung memeluk sahabatku.

"Maafkan aku! Maafkan aku yang hanya diam saat kalian bertempur melawan Israel!" tangisku pecah di pundaknya.

Sahabatku dengan tenang menepuk-nepuk bahuku sambil berkata, "Selamat datang Zaid, selamat datang di jalan yang Surga jadi tujuannya."

Aku tersenyum sambil terisak.

You Might Also Like

0 komentar

Instagram