Papandayan; Berdoa, Berharap, Berusaha

6/01/2014 09:37:00 AM



Berjuta syukur kepada Allah karena telah menutup Bulan Rajab ini dengan indah.

Waktu itu malam tanggal 28 Mei ketika bulan sempurna menghilang. Ya, ialah bulan pada fase bulan mati sekaligus menandakan berakhirnya Bulan Rajab. Dalam pendakian kali ini aku belajar berharap. Belajar pasrah kepada Yang Maha Menentukan. Belajar bahwa hanya Allah saja lah yang punya kuasa, punya hak penuh mengatur seluruh petualangan ini. 

Belajar bahwa manusia hanya bisa berdoa, berharap, berusaha, sisanya terserah Allah. Belajar ikhlas dengan yang Allah berikan. Belajar ikhlas kalau di malam pertama langit malam berawan, belajar ikhlas kalau di hari pertama sunrise tidak berwarna, dan belajar ikhlas kalau di hari pertama dan kedua sunset selalu mendung. 

Berharap, aku hanya bisa berharap Allah mau melukiskan langit yang indah untukku.

“Ya Allah berikanlah langit yang indah, pagi hari yang biru, sunset dan sunrise yang keren, dan mala bertabur bintang.”

Ternyata di akhir hari petualanganku  ini Allah mengabulkannya. Allah mengabulkannya setelah aku tersadar kalau aku tak punya kuasa apapun mengenai langit. Lalu aku menyadari dan berkali-kali meyakinkan diriku kalau apapun kondisi langitnya, itu yang terbaik dari Allah.

Entah sudah yang keberapa kalinya  Allah mengabulkan permintaanku sebelum naik gunung.

Betapa baik dan pemurah-Nya ia.

Aku juga tak tahu mengapa, dengan diriku yang sangat mengagumi kuasa Allah yang bernama langit ini. Berzikir itu artinya mengingat Allah. Tak pernah aku berhenti memuja-memuji-Nya, mengagumi-Nya, mencintai-Nya dengan sangat jika sedang melihat kekuasaan Allah yang satu ini.

Ialah langit. Benda menakjubkan yang tak pernah berhenti membuatku terpukau. Bahagia sampai ingin menangis.
Taburan bintang di Pondok Saladah
Bersyukur tak terhingga karena bisa menyaksikan langit seindah malam itu.

Malam itu, malam terakhir untuk Bulan Rajab. Aku dan Ossi mengabadikan langit malam bertabur bintang di atas Pondok Saladah, sebuah tempat terpencil di Gunung Papandayan. Ditemani lagu Knee Deep-nya Zac Brown, candaan ringan dari pendaki lain dari tenda-tenda, dan cahaya kecil api unggun dari kejauhan, membuat keindahan malam itu semakin menjadi saja. Mata yang berbinar-binar dan senyum yang semakin mengembang pun menghiasi wajahku malam itu.
Qoonit dan milky way

Pagi hari, Bulan Sya’ban datang. Aku semakin merindu saja, rindu akan pertemuan dengan Bulan Ramdhan.
Mungkin karena keberkahan di awal masuknya Bulan Sya’ban, matahari pagi itu terbit dengan indahnya. Sempurna membuka hari, menutup gelap, mewarni langit, gradasi indah tak terkira. Waktu itu kami sedang di Hutan Mati, keindahan sunrise langsung memberhentikan kami dari perjalanan menuju Puncak Papandayan.
Keindahan langit di Hutan Mati
Sekali lagi, langit tebar pesona, dan aku tak bisa untuk tidak terpesona dengan keindahannya. Masya Allah..
Hutan Mati on Fire
Semua keindahan ini, berawal dari ajakan naik gunung-nya kak Ronny, sang astrofotografer, yang ngajak motret milkyway di akhir mei. Terpilih lah tanggal 28 karena malam itu sedang fase bulan mati, kalau cerah malam akan bertabur bintang tanpa terganggu sinar apapun. Karena alasan dana dan geografis akhirnya kami memilih Papandayan sebagai tempat hunting foto milkyway ini. Aku mengajak Wibi, Yopin, dan Ossi, yang ternyata sama-sama hobi naik gunung. Mendekati hari H entah kenapa yang mau ikut ke Papandayan jadi berkali lipat, total ada 13 orang! Hoho...pendakian ini akan menyenangkan. Oh iya, dan entah kenapa juga ternyata Ka Ron ga jadi ikut karena masih di Jogja. Jadilah pendakian kali ini khusus anak Jurnal 2012 : Qoonit, Amal, Tere, Dipna, Osi, Hani, kang Apis, Wibi, Ardi, Isal, Wendhi, Yopin, dan Mbaput.

Geng Gunung Jurnal ini sudah lama aku dambakan, hihi.. Alhamdulillah terbentuk juga.

Mereka lucu sekali;

Ossi yang selalu curhat masalah hati, Ardi si Oppa yang hidupnya sangat drama, Wendhi yang selalu jadi bahan bully, Kang Apis yang tukang ngelawak, Amal ‘ibadah’ dengan tingkahnya yang kocak, dan tingkah teman-teman lainnya yang beraneka rupa. Mereka selalu membuatku tertawa.

Dalam pendakian kali ini, aku jadi tempat bertanya banyak hal, hal remeh temeh yang sebenarnya aku yakin mereka sudah tahu jawabannya,

“Qoon wudhu boleh pake tisu basah ga? Gue males kena air, dingin banget”
“Qoon, salat boleh ga pake kaos kaki ga?” (padahal dia cowok)
“Qoon, tadi dia nyentuh gue, gue batal ga?”
“Qoon, kalo digunung boleh dijamak?”
“Qoon, udah asar blom? Udah subuh blom? Udah magrib? Udah zuhur? Udah Isya?”
“Qoon gue boleh pake celana pendek ga?”
“Qoon, masa gue gak solat isya tadi malem, gimana dong?”
Dan lain sebagainya, haha..

Sampe Dipna yang nonis (non Islam) bingung, “Kenapa kalian nanya mulu ke Qoonit sih! Kalian kan juga Islam masa ga tauu”

Wakakak, aku jawab aja sebisanya, hihi..

Pendakian kali ini Alhamdulillah lancar, kami semua sehat, bahagia, dan semua bisa sampe titik tertinggi Gunung Papandayan, alias sampe puncak! Yah, walaupun kondisi di puncak tidak seindah yang kami harapkan, keindahan selama perjalanan sudah membayar lunas semua kelelahan yang kami alami.

Mulai dari Camp David, landscape tebing-tebing dan kawah yang mengepulkan asap sudah memukau kami. 
Bberjalan lah sedikit agak menanjak dari Camp David, dan kalian akan menemukan keindahan ini
Tebing tebing terjal menjadi pemandangan menuju Pondok Saladah

Kemudian Podok Saladah, hamparan rumput hijau yang dikelilingi bukit-bukit tinggi menjulang yang berselimu kabut nan eksotis. 
Wibi-Wendi-Ardi-Ossi-Tere-Amal-Hani-Putri-Qoonit-Yopin-Kang Apis-
Isal

Hutan Mati, hutan yang pohon-pohonnya seperti berdiri dengan angkuh, meliuk-liuk indah rupawan. 

Tegal Alun, padang luas dengan hamparan bunga Edelweiss yang dikelilingi oleh bukit-bukit hijau nan cantik. 


hingga puncak, semua memiliki keindahannya masing-masing. Semua memesona.


Semua mengingatkan aku pada sang Pencipta, kembali berzikir, mengingat kekuasaan-Nya. 

Papandayan ini memang banyak sekali objek fotonya, cantik bukan main! Masya Allah sukaaaaa :”)
Gak heran kalau kami sering sekali berhenti untuk berfoto.

Sekarang di Camp David ada pemandian air panas :')

Salah satu hal yang menyenangkan dari geng jurnal ini ialah kemudahan dokumentasi. Kami membawa 4 kamera SLR, 1 Kamera digital, dan 3 tripod. Lebih dari cukup untuk mendokumentasikan semua petualangan kami. Karena berlatar belakang jurnalistik, kami mengerti pentingnya dokumentasi dan mengerti teknik pengambilan foto.

Sayang kalian banget! Lope lope :*

Terima kasih untuk petualangan kali ini kawan-kawan! Jumpa lagi di petualangan selanjutnya!

You Might Also Like

0 komentar

Instagram