Pelajaran dari 2958 mdpl
4/23/2014 05:12:00 PMMinuman paling menyegarkan adalah air mineral yang diminum di tengah perjalanan saat mendaki gunung. Dingin membasahi kerongkongan yang kering.
Sofa paling nyaman adalah rangkaian batu-batu di pinggir
jalan setapak, tempat duduk sejenak melepas lelah dan membagi beban keril pada
batu.
Senyum paling menyenangkan adalah senyum dari para pendaki,
menyapa ramah saling menyamangati.
Coklat paling lezat adalah coklat yang dimakan saat
trekking, manis, membangkitkan semangat, dan mengisi tenaga.
Banyak hal menjadi teramat berharga saat mendaki gunung.
Pakaian kering, makanan, cemilan, teman, teriakan penyemangat, bahkan sekedar
senyuman. Semua sangat berarti. Apalagi dorongan semangat dari dalam diri. Ah,
itu yang paling utama menurutku.
Waktu itu Sabtu, tanggal 19 April 2014. Matahari baru saja
tenggelam, menelusup di antara lembutnya awan-awan putih yang kemerahan. Indah
sekali pergantian siang ke malam hari itu. Langit semakin gelap, angin dingin
mulai berhembus, membekukan tangan-tanganku. Itu artinya aku harus menyudahi
membuat time lapse awan yang bergerak
dari ketingian 2958 mdpl itu. Aku baru saja ingin membereskan kamera dan
tripod-ku, seorang pria sudah berteriak ke arah ku, “Saya heran, ini kamu gak
kedinginan apa?” Aku yang melupakan segala hal kalau sudah bersama Niki
(kamera) dan tripod, langsung tersadar kembali. Angin dingin menyapa tubuhku.
Dingin. Sungguh.
Kami melanjutkan perjalanan menuju puncak. Ternyata tempatku
mengabadikan sunset hari itu belum
titik triangulasi dari gunung yang aku daki. Kali ini giliran aku yang membawa
jeweski (nama yang aku berikan untuk kerilku), keril itu sungguh berat. Karena sebuah insiden, kami terpakasa
harus membawa tenda untuk 6 orang. Itu pertama kalinya aku membawa keril
seberat itu, ada tenda dan sebagian frame-nya
dalam jeweski itu.
Aku berjalan perlahan menuju puncak, jalanan berpasir,
langit semakin gelap. Cahaya headlamp para
pendaki yang berbaris menaiki puncak terlihat dari kejauhan. Sebuah tanjakan
yang cukup curam dan panjang, untuk orang yang punya mental ingin foto-foto dan
ngopi-ngopi di atas puncak. Ya, aku berharap bisa sedikit santai, menikmati
indahnya pemandangan dari ketinggian 2958 mdpl ini, seperti pengalamanku di
atas puncak gunung sebelumnya.
Harapan itu hilang diterbangkan angin gunung yang menggigit
tulang. Hanya 10 menit aku di puncak, mengabadikan sunset dan harus kembali melanjutkan perjalanan: Surya Kencana.
Bersama jeweski yang berat aku melangkahkan kaki ku perlahan. Setiap hembusan
angin, seakan menahanku untuk menghentikan perjalanan. Oksigen yang tipis,
membuat nafasku harus dihirup lambat dan perlahan. Masa-masa itu adalah masa
terberat dalam sejarah pendakian gunungku. Aku sudah mendaki dari pukul 6 pagi,
waktu itu sudah pukul 7 malam. Sudah 13 jam perjalanan, masih tak boleh aku
beistirahat? Sepanjang perjalanan banyak pendaki wanita lain yang beristirahat,
keril mereka dibawakan panitia. Menyenangkan sekali sepertinya.
Beberapa kali aku berhenti, tetapi semakin aku berhenti, aku
semakin kedinginan. Tanganku seperti akan beku. Hidungku perih, nafasku berat.
Teman-teman sudah jauh di depan. Buah simalakama, kalau aku berhenti, aku takut
mati karena hipotermia, kalau melanjutkan perjalanan aku sungguh kelelahan. Tetiba
ada bisikan halus, “Qoon, lo ga boleh berakhir di sini, masa di Puncak Gede,
2958 mdpl doang, perjalanan lo masih panjang! Jalan aja jalan! Walaupun pelan,
ga usah dipikirin, yang penting jalan Qoooon.”
Ajaib! Aku mengikuti suara kecil itu. Aku langkahkan kakiku,
tidak mau melihat tanjakan di depan. Hanya ingin melangkah, setidaknya ini
tidak akan membuatku mati karena hipotermia. Ternyata hanya 15 menit melangkah
dan malangkah, aku sudah menemukan papan bertulisakan “Puncak Gunung Gede, 2958
mdpl” Hoff..Alhamdulillah... dan di bawah papan tersebut bertulisakan “Surya
Kencana” dengan panah ke arah kanan.
Sudah banyak pendaki dari tim Arkadia yang beristirahat di
puncak itu. Duduk kelelahan. Tetiba ada yang memanggilku “QOONIT!” aku menoleh,
rupanya Dian. “Sini duduk, maaf ya..gue ninggalin lo, abis dingin banget kalo
berenti nungguin lo, hehe..” aku cuma senyum. Lalu duduk bersandar pada batu,
sofa paling nyaman itu, dan memandang langit yang mulai dihiasi
bintang-bintang. Malam ini, bintang-bintang dan Pohon Cantigi yang
bergerak-gerak dihempas angin dingin menjadi saksi. Aku menang melawan Qoonit,
si Qoonit yang manja dan sukanya istirahat itu. Ya. Aku menang.
Aku seperti dipaksa kuat oleh alam, kalau tidak mau, mungkin
sudah kena tahap hipotermia awal. Kalau tetap ngeyel yang menghukumnya adalah alam. Kejam sekali hukumannya itu,
sungguh!
Ah, itu lah mendaki gunung; seni berdamai dengan diri
sendiri.
Perjalananku kali ini mendaki Gunung Gede, memang menyemai
banyak sekali hikmah dan pelajaran-pelajaran berharga. Kebesaran Allah dan
semua alur ceritanya yang menakjubkan aku temukan dalam perjalanan kali ini. Ya
di sini kaki ku sudah menapak, 2958 mdpl.
13 Jam aku berjalan, ternyata masih belum bisa berbaring di
tenda, berkumul dengan sleeping bag yang
hangat, sambil menyeruput coklat hangat. Buang jauh-jauh bayangan itu!
Perjalanan di lanjutkan, samar-samar aku mendengar keluhan pendaki perempuan
lainnya, “Ga mau, ga mau jalan lagi, ga kuat, udah nge-camp di sini aja pliiiisss..” Aku tak berselera menguatkan dia,
urusan aku dan jewski besar ini saja masih belum usai.
Kali ini perjalanan menuju Surya Kencana menurun, Alhamdulillah..
Headlamp sudah
terpasang, jalanan setapak menurun, tanah dipadu batu menjadi pemandanganku
selama menuruni bukit menuju Surya Kencana. Parahnya, dua orang di depanku ini,
yang juga pendaki perempuan tidak membawa headlamp.
Bagaimana bisa benda sepenting itu tidak membawa, batinku kesal. Lagi-lagi
panitia yang ketumpuan, panitia harus menerangi jalan mereka dari di depan. Aku
turun perlahan, berpegangan pada dahan-dahan cantigi untuk menyeimbangkan badan
agar tidak jatuh mencium batuan.
Masih saja aku dengar keluhan-keluhan, “Lama banget
Surkennya, capek..” atau “Kenapa gak nge-camp
di puncak aja siii, heuu..” aku yang juga sudah lelah, memilih untuk diam,
beistighfar, berhamdalah, apapun asal tidak mengeluh. Peserta perempuan lainnya
terlihat dituntun panitia karena sakit, kerilnya dibawakan. Bahuku juga ingin
istirahat.
Perjalanan menuju Surya Kencana ini seperti tidak ada
habisnya. Aku tidak peduli, yang aku tahu hanya berjalan. Lama aku berjalan,
banyak hal yang aku pikirkan, seperti kenapa
Qoonit bisa ada di sini si! Capek! Dingin! Enakan di rumah, hang-out bareng
keluarga, ketawa-tawa, enakan di kamar kosan, ngelanjutin layout warta kema. Rasanya
pengen nangis, berasa gak sampe-sampe. Ngapin
gue mau-maunya capek-capek masuk hutan, turun naik gunung.
Lama-kelamaan karena dua perempuan di depanku ini jalannya
lama sekali, sering jatoh, sering berhenti, sering mengeluh, aku tidak tahan.
Aku, teh Tanti, dan Dian, memilih mendahului dan berjalan cepat menuruni bukit
mendahului mereka. Terdengar teriakan dari jauh, “yang depaaan..tungguin dong,
kita ga tau jalan” Aku tidak peduli, duh
maafkan Qoonit yang egois, tapi seingatku di belakang ada panitia, jadi mereka
pasti aman.
Hujan mulai turun, lama-kelamaan semakin deras. Aku dan Dian
berteduh di tenda milik grup pendaki lain. Mereka menyambut kami ramah. Dian
sudah terduduk lemas, “Qoon, gue capek, udah ga mau jalan lagiii, di sini aja.”
Aku langsung mengingatkan Dian “Dian, gak boleh ngeluh!” tetiba suara teh Tanti
memanggil, “QOONIT! Bongkar tendanya sekarang.”
Aku mengangkat keril yang berat itu lagi, di tengah derasnya
hujan, dua panitia sigap membantuku membongkar tenda dari keril. “Kalian berdua
pake ponconya.” Perintah kakak panitia, Bang Singit. Bahkan mereka tidak
memakai ponco, baik sekali mereka. Aku baru ingat, “Bang, sebagian frame-nya di temen saya, dia udah di
Surken kayaknya!”
Aku dan teh Tanti meninggalkan Dian di tenda itu,
melanjutkan perjalanan menuju Surya Kencana. Bang Singit berbaik hati membawakan
jeweski. Akhirnya ada yang besedia membawakan keril ku, senangnya, bahuku bisa
beristirahat. Hamparan ladang luas terlihat, bayang-bayang tenda, dan aroma
masakan malam tercium. Sapaan ramah juga sudah terdengar, “Ayo, yang baru
dateng, mampir dulu makan malem.” Ingin rasanya bergabung, tetapi Bang Singit
terus melangkahkan kakinya.
“Sekarang pasang tenda kalian masing-masing ya.” Perintah
Bang Singit, pada aku, teh Tanti, dan tiga pendaki Arkadia lainnya. Kami hanya
saling berpandangan, “Kalian ga ada yang bawa tenda?” mereka hanya menggeleng. Ampun deh iniiii gak bener banget peserta.
Aku lalu menemukan hikmah, insiden salah membawa tenda.
Harusnya kami hanya membawa tenda untuk 4 orang. Entah, karena abang penyewaan
tendanya melamun, yang diberikan tenda untuk 6 orang. Setelah bertemu Siti yang
sudah nyaman di dalam tenda, kami mendirikan tenda. Tenda ukuran 6 orang itu
dipadatkan hingga 7 orang.
Beberapa saat kemudian Dian dan beberapa pendaki lainnya
mulai berdatangan. Sayup-sayup aku dengar teriakan instruksi untuk panitia,
“Semua panitia cowok, balik ke puncak sekarang! Kita
evakuasi, banyak peserta yang pingsan!”
Memang benar, pendakian kali ini penuh cerita, hikmah, dan
pelajaran. Beberapa saat setelah aku selesai membuat lima gelas minuman hangat,
dan dua bungkus mie rebus, Dian datang. Enak sekali dia.
Malam ini aku dan Dian menyebutkan hikmah-hikamh apa saja
yang kami dapatkan hari ini:
1. Qoonit, Siti, dan teh Tanti, yang harus
berat-berat membawa tenda ukuran enam orang, ternyata sangat bermanfaat karena
banyak peserta yang tidak membawa tenda.
Di perjalanan setiap pendaki yang lewat tak
henti-hentinya berkomentar:
Wuih,
kerilnya mantap!
Cewek,
bawaannya gede banget dah
Wah,
bakalan jadi ibu rumah tangga yang kuat nih
Semangat!
Semangat para kartini!
Dan lain sebagainya, mereka tak henti
hentinya menyemangati kami yang bergantian membawa jeweski.
2. Makanan sisa, ayam dan nasi yang sengaja kami
bungkus, ternyata bermanfaat karena tengah malam, Putri mengetuk tenda kami dan
belum makan.
3. Kaos hadiah Siti karena menjawab pertanyaan,
ternyata bermanfaat karena tengah malam Fida datang tanpa keril dan bajunya
basah kuyup.
4. Qoonit yang bawa jaket dua dengan niat untuk
foto-foto ternyata bermanfaat untuk Fida yang semua barangnya di keril, dan
kerilnya ditinggal di jalur. Ga kngerti
lagi
5. Masa-masa hopeless,
sebelum sampai puncak:
Dian waktu itu bilang, “Yah, mendung Qoon,
kayaknya gak bakal ada sunset di
puncak.” Qoonit yang sudah terbiasa menghadapi perilaku langit yang tidak bisa
diprediksi bilang, “Ga papa Diaaan, kalo ga ada sunset pasti Allah kasih yang lebih indah lagi nanti.” Dian pun
tersadar, “Iya bener, kita harus husnuzon terus sama Allah.” Kami pun terus
melanjutkan perjalanan menanjak yang tak berkesudahan ini sambil terus saling
menguatkan, seperti mendaki sambil menyanyikan lagi Tuhan Tahu Kita Mampu,
Saat
beban pebuhi pundakmu
Pakai
bahuku dan kita bagi bebanmu itu
Karena
Tuhan tahu kita mampu
Kita
mampu
Saat
kau terpuruk dan terjatuh
Pegang
tanganku dan kita lawan terpuruk itu
Karena
Tuhan tahu kita mampu
Kita
mampu
so
sweet banget kan kitaaa
Menurut pengakuan Siti yang sudah lebih
dahulu sampai puncak: Tepat saat aku dan Dian sampai di Puncak, tetiba awan
yang tadinya menutupi seluruh pemandangan dari atas puncak terbuka. Gunung
Pangrango terlihat, matahari yang jingga kemerahan juga terlihat. Semua orang
terperangah, kagum atas kuasa-Nya.
Allah seperti membukakan langit khusus
untuk aku dan Dian yang sudah kelelahan mendaki selama 12 jam. Allahu Akbar!
Allah Mahabaik luar biasa. Semesta seperti mendukung kami.
Aku dan Dian sampe terharu atas semua
kebaikan-kebaikan yang Allah berikan. Everything
happens for a reason.
Malam menjelang
Saat-saat yang
kunantikan datang juga: tidur.
Tengah
malam nanti, Dian sudah berjanji menemaniku motret milkyway. Aku bangun, pukul 3 pagi, entah tetiba terbangun sendirinya.
Aku longokkan kepalaku keluar tenda dan melihat taburan bintang di atas Surya
Kencana. Indah sekali. Malam ini cerah, tetapi langitnya terang sekali. Ternyata malam itu
fase bulan sedang setengah lebih sehingga menutupi cahaya bulan dan tentu saja milkyway.
Sayang
sekali artisnya malam itu tidak muncul. Dian yang ngantuk sehingga tidak
kooperatif akhirnya memilih hangatnya tenda dibanding dinginnya angin Surya
Kencana malam itu. Dingin sekali. Kalian pernah merasakan setelah memegang es batu
tangan kalian seperti kesemutan? Nah, seperti itu lah rasa dingin yang
menyelimuti tangan dan kakiku waktu itu.
Bintang bertabur di atas Surya Kencana |
Aku
dibangunkan oleh suara azan. Siapa pun itu yang azan di Surya Kencana waktu itu,
aku sangat berterimakasih. Seakan ada ribuan malaikat yang turun subuh itu
membagikan keberkahan kepada kami para pendaki. Nyaman sekali.
Setelah itu teriakan-teriakan
dari para pendaki semarak meramaikan Surya Kencana:
BANGUUUN..BANGUUN..
SELAMAT
PAAAAAGIIIII INDONESIAAAA
SELAMAT
PAGI SURYA KENCANAAA
SOLAAAAT
YOOOK
Aku lalu membangunkan teman-teman lalu salat subuh sambil menggigil.
Setelah itu, kompor dinyalakan, minuman hangat segera disiapkan, sembari
menunggu datangnya matahari terbit dari balik bukit.
Pagi hari yang tenang di padang Surya Kencana yang luas,
langit biru dengan gradasinya yang indah mulai menampakkan kemerahan. Hamparan
padang rumput dan Edelweiss semakin indah diselimuti kabut tipis yang ditimpa
berkas cahaya matahari. Para pendaki mulai ramai keluar tenda, semua ingin
menyaksikan keindahan pergantian malam menuju pagi ini.
Tidak lama, matahari terbit dari balik bukit dengan
indahnya. Sinarnya yang keemasan mewarnai seluruh padang rumput. Indah sekali
pagi hariku itu. Betapa aku sangat mensyukuri nikmat hidup yang Allah berikan untukku.
Allah seperti mengabulkan semua permintaanku sebelum naik gunung. Aku terus berdoa dan meminta kepada semua orang yang aku temui untuk ikut mendoakanku:
teman-teman satu tenda: tanti-lala-fida-dian-putri-(bibi)-Qoonit |
Allah mengabulkannya. Ya, semuanya.
Alhamdulillahirabbilalamin..
Syukur tak hingga :")
Banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil pada pendakian kali ini. Pendakian dalam rangka memperingati hari Kartini yang diadakan oleh ARKADIA UIN (Pecinta alam di UIN). Pendakianku kali ini, berhasil memecahkan rekor Muri sebagai pendakian perempuan terbanyak.
Salut kepada panitia yang super sabar menghadapi para Kartini, yang kebanyakan pendaki pemula. Saat acara ramah tamah, banyak cerita menarik dari para panitia.
Selama perjalanan, kami bertiga selalu berada di kloter depan, ternyata banyak hal menarik yang terjadi di kloter akhir. Saat acara ramah tamah, panitia banyak bercerita:
Ada yang setiap tiga langkah istirahat
Ada yang males gerak
Ada yang sudah mundur sejak pos kedua
Beberapa orang pingsan di puncak dan di jalur karena kelelahan
Beberapa ada yang sudah hipotermia tahap awal dan harus ditampar agar mau bergerak
Beberapa ada yang meninggalkan kerilnya di tengah jalan
Ada yang keseleo
Dari atas 2958 aku dapat banyak pelajaran.
Dari pendakian terlama dengan beban terberat ini aku juga mendapatkan banyak pelajaran.
Aku belajar mengalahkan ego diri sendiri, belajar menguatkan, belajar sabar, belajar tertawa saat sulit, belajar berani menghadapi medan apapun, belajar bersikap sigap walau kondisinya sedang sangat lelah, belajar mendahulukan orang lain, belajar bersyukur dan belajar berbagi.
Banyak sekali pelajaran dari 2958 mdpl ini.
Peserta dan Panitia Pendakian Kartini di Pos Montana |
kiri-kanan: daypack siti-keril teh tanti-jeweski |
0 komentar