Rover Journalist : Effendi Soen

12/09/2013 01:33:00 AM

“Qoon, besok kamu saya tugaskan meliput tim pendaki ke Puncak Cartenz ya!”

atau 

“Qoonit, besok berangkat ke Papua ya, usut kasus ilegal logging!”

atau perintah lainnya

“Qoon, besok siap ya ke Gaza, konflik sedang memanas kembali!”

Pernah membayangkan akan mendapat tugas liputan seperti itu? Jika pertanyaan itu benar terwujud, *triiiing* impian jadi nyata, tentu akan aku jawab dengan anggukan super kuat, mata berbinar, dan senyum super lebar, sambil berkata “SIAAAAAP LAKSANAKAN!”

Rover Journalist! Atau Jurnalis petualang, dalam benak saya adalah sebuah profesi yang sangat menyenangkan. Pergi ke pelosok daerah, bertemu kebudayaan baru, melihat momen langka, bermain dengan adrenalin, keliling dunia, dan dibayar! Bayangkan betapa banyak pengalaman dan pelajaran yang akan kita dapatkan. Bayangkan berapa banyak video dan foto keren yang akan kita dapatkan. Setiap hari pelajaran baru, pengalaman baru, dan relasi baru! Itulah yang sudah dialami Effendi Soen. Seorang Rover Jornalist dan Combat Journalist yang sudah malang melintang selama 30 tahun.

Sebuah anugerah luar biasa bisa berbincang-bincang dengan beliau. Praktik Lapangan (PL) Wawancara ke-3 ini, kami, mahasiswa Jurnalistik semester-3  ditugaskan bang Sahala mewawancarai wartawan senior minimal 10 tahun. Kami ditugaskan mencuri ilmu kewartawanan dari wartawan senior. Pikiranku langsung melayang dan menargetkan untuk mewawancarai wartawan perang atau wartawan petualang. Entah siapa dan harus mencari kemana, tetapi aku optimis bisa mewawancarai mereka.

Setelah melancarkan sms kepada segenap senior, teman-teman, dan narasumberku dulu, aku memutuskan untuk fokus pada wartawan petualang karena link belum memadai untuk mendapatkan wartawan yang meliput konflik di timur tengah. Aku menargetkan meliput wartawan senior yang ikut meliput Ekspedisi Seven Summits. Setelah mencari dan mencari, tanya teman, tanya mimin fb Wanadri, tanya ibu-ibu sekre Wanadri, tanya ketua dan sekretaris tim Eskpedisi Seven Summits, akhirnya keluar juga dua nama: Effendi Soen dan Bambang. Dari dua nama itu, yang berhasil didapatkan kontaknya hanyalah Effendi Soen. Begitulah akhirnya aku memilih beliau untuk menjadi narasumberku.

Alhamdulillah, semua dipermudah, beliau tepat janji, tidak terlambat, aku pun demikian. Pukul 8 pagi aku sudah sampai di depan pintu gerbang, ada stiker Wanadri. Aku sempat sakit perut melihatnya, entah karena gugup, karena akan bertemu wartawan super keren. Yah, agak berlebihan memang, ahaha..

Pria berumur 57 tahun, tegap, tinggi, dan bugar, dengan tinggi 185 cm keluar membuka pagar dan menyapa ku ramah. Sorotan matanya yang tajam memperlihatkan banyaknya pengalaman hidup luar biasa yang telah ia lalui.

Bincang-bincang mengalir selama dua jam. Kalau kalian ada di sana, kalian bisa melihat bagaimana mataku penuh pancaran binar antusias dan mulutku tak berhenti tersenyum mendengar kisah-kisah beliau.

Semua tugas peliputannya benar-benar membuat iri. Coba lihat ini:

Untuk Konflik dan Operasi Militer: Papua (Operasi Mapenduma), Sampit, Poso,Aceh, Irak Kuwait, Kamboja, Bosnia, Filipina Selatan.

Untuk Penjelajahan: Ekspedisi Kopassus ke Pegunungan Jayawijaya- Cartenz Pyramid, Peg. Alpen Perancis, Peg.Everest Himalaya Nepal. Ekspedisi Pencinta Alam Putri Universitas Trisakti ke Afrika.

Untuk Peristiwa Olah Raga: Olimpiade Dirgantara {World Air Game) I di Turki, WAG II Spanyol, Kejuaraan Dunia Terjun Payung di  Arizona USA, Pra Kejuaraan Dunia Gantolle  Spanyol, Manager Panjat Tebing Indonesia ke Ekstreem Game San Fransisco USA,  dll.

Untuk Kepresidenan: Reporter untuk Liputan Kepresidenan Dalam dan Luar Negeri di masa  Presiden Soeharto, Presiden BJ Habibie, Presiden Abdurrachman Wahid, dan Presiden Megawati. 
Bencana Alam dan Operasi SAR : Gempa Liwa Lampung, Gempa Kerinci Jambi, Tsunami Aceh. SAR Pesawat Merpati di Sulawesi Tengah, Silk Air di Sungai Musi Palembang.

Liputan lainnya  ke  Luar Negeri: Australia, Timor Leste, Singapura, Malaysia, Brunei, Myanmar, Vietnam, Hongkong, RRC, Turki, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Oman, Jerman, Belanda, Perancis,Swiss, Austria, Brazil,Venezuela, Argentina, Chile, Kenya, Tanzania, Zimbabwe, Kanada, Amerika Serikat, Kuba.

Semuanya bikin sesek dan membuat pak Soen ini terlihat semakin kece.

Kalau melihat kediamannya yang sederhana, pasti tidak ada yang menyangka beliau sudah menapakkan kakinya keliling dunia, bahkan ke puncak tertinggi dunia. Betapa kaya! Kaya akan pengalaman!
Apa yang menyebabkan Effendi Soen bisa mendapatkan semua pengalaman luar biasa tersebut?

Ini jawaban beliau: Simak, dengarkan, catat!

Manusia itu ibarat sebuah kendaraan. Semua bebas merancang kendaraannya ingin seperti apa. Mau menjadi angkot yang hanya beredar di perkotaan, mau menjadi mobil sport yang bisa melaju dengan cepat, atau mau menjadi kendaraan off road, yang mampu melewati segala medan. Kalau saya tidak suka yang di kota-kota, tetapi sukanya yang ke gunung yang ada tantangannya, dengan kendaraan off road, yang bisa melalui segala medan, yang bisa saya perbaiki kalau rusak. Bahkan kalau bisa kendaraan ini bisa menjelajah ke seluruh dunia dengan cara apapun.

Saya mulai membentuk mobil itu saat kuliah. Saya ikut Resimen Mahasiswa. Berkesan sekali dalam membentuk mental sigap. Sama dengan bang Sahala, yang kedua saya mengikuti Pendidikan Dasar Wanadri (PDW). PDW itu tempaannya satu bulan penuh! 1980 saya masuk Pendidikan Terjun Aves. Jadi, kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler saya sangat banyak, dan lebih banyak ke penempaan-penempaan fisik, psikis, mental, dan karakter sehingga ketika dipadu dengan jurnalistik, itulah yang ingin saya sampaikan ke adik-adik yang masuk Jurnalistik. Itulah sosok Jurnalis yang saya inginkan, sampai sekarang saya punya format pelatihan untuk jurnalistik-jurnalistik semacam itu, tetapi pengorbanannya saya kuliah 10 tahun. Di tahun-tahun terakhir saya aktifnya di universitas, seperti membentuk Palawa Unpad di tahun 1982, basisnya dari Publisistik, Fikom Unpad. Ada Janjan sekarang di Metro TV, ada Ronald Fotografer. Itu dua orang yang menyemangati saya untuk membuat pelatihan di Palawa. Saya gabungkan atmosfer pendidikan di Resimen Mahasiswa dan pendidikan di Wanadri, maka jadilah pendidikan di Palawa. Dulu luar biasa, ada terjun payung di Parkir Timur, gerak jalan fakulas. Penggeraknya dari anak-anak Publisistik dan Sospol (sekarang Fisip).

Itu kisahnya saat kuliah, memang kuliah 10 tahun tidak untuk dicontoh, dan tidak bisa diterapkan juga saat ini. Lihat betapa fokusnya beliau menyiapkan diri untuk meraih mimpinya. Jadi, ketika lulus kuliah beliau sudah terbentuk sesuai keinginannya dan siap ditugaskan ke ujung dunia manapun.

Saat itu saya juga baru tahu kalau beliau adalah pendiri Palawa. Tahu begitu, tidak perlu repot-repot mencari kontaknya, haha.. Ternyata nama Soen sudah tertulis di buku catatan saya pada tanggal 23 Maret 2013, saat materi Palawaisme. Dulu, tak pernah terpikir saya bisa bertemu dan berbincang dengan pendiri Palawa itu. Sekarang, lihat kuasa Allah yang mempertemukan kami. Masya Allah..


Beliau sosok wartawan yang sangat mementingkan kualitas dan moral. Sering sekali beliau menegaskan “Mental, moral, mental, moral, baru intelegensia!”, bekerja dengan sepenuh hati, tidak setengah-setengah, tidak berdasarkan materi, semua ia lakukan karena kecitaannya pada dunia kewartawanan. “Saya selalu ingin memberikan lebih, memberikan yang terbaik! Kalau diminta 20 saya berusaha berikan 40.” Totalitas, lakukan yang terbaik.

Beliau juga bersyukur memiliki basis di bidang komunikasi. Banyak sekali kondisi yang berhasil di kondusifkan walupun dengan bahasa yang berbeda. Beliau mengisahkan:

Sewaktu saya di Kamboja. Saya ikut observer masuk ke dalam daerah Kamer Merah, dengan helikopter Rusia, tetapi kami dilarang masuk. Semua menunggu selama beberapa jam, sampai bosan. Pilotnya orang Rusia waktu itu, saya berdua dengan kameramen saya, kami tidak bisa berkomunikasi. 

Untungnya saya ingat lagu Rusia, sewaktu saya aktif di lingkungan rumah, di Gatot Subroto, saya aktif di Taruna Karya, kita bikin Fox song music. Saya mulai dengan ketukan di pinggir kursi, (bernyanyi lagu Rusia sambil mengetuk-ngetuk meja), sekali suasana masih hening, kedua kali, mereka ikut 
bernyanyi kemudian suasana menjadi akrab. Ketika sudah akrab, besoknya enak aja naik helikopter, kemudian mereka datang dan menyambut kami, “heey..Effendi! Effendi!” Itu contoh-contoh esensi komunikasi yang saya praktikkan. Saya kan masuknya pada derah-daerah yang kritis. Di Kamboja saya mau masuk ke tempat pemilihan umumnya, tetapi gak bisa masuk, yang jaganya dari Kamerun. Kemudian kameramen saya bilang, “kemaren kan Kamerun salah satu yang ikut piala dunia, ada Oyik Biyik jagonya nge-golin, kalau sudah nge-golin goyang-goyang pantat. Lalu saya bilang ke penjaga itu, “Hey, Kamerun, Kamerun, football! Football! Oyik, Biyik, Gooool!” Lalu saya bergaya selebrasi ala Oyik-Biyik dengan menggoyang-goyangkan pantat, penjaga itu langsung merespon, “OOH YEES!!” dia langsung seneng, dianterlah saya masuk-masuk ke tempat pengumutan suara. Nah, hal seperti itu yang tidak di ajarkan. Bagaimana cara ice breaking, bagaimana cara memecahkan suasana-suasana itu. Saya lebih sering mendapatkan suasana yang harus saya bangun sendiri, itulah wartawan. Bukan hanya sekedar datang, melaporkan lalu pulang. Saya tidak ingin menjadi wartawan linear, istilahnya, datang-melaporkan-lalu pulang, apalagi yang nge-post lalu pulang, tetapi saya bilinear, saya ke sana tetapi juga memiliki hubungan ke yang lain, apalagi multi-linear, setiap ada masalah, coba dikembangkan, apa keterkaitannya.

Ini pengalaman Soen yang paling berkesan:

Saat liputan-liputan konflik itu membutuhkan kepercayaan diri. Contoh ketika saya meliput MILF dan MNLF di Filipina. Saya punya temen kolonel, dia komandan observer di sana, saya bersama wartawan Kompas Marwi Tobing. Saat datang ke sana saya hanya menyaksikan penandatanganan atara Nurmiswari dengan pihak Pemerintah Filipina. Dalam benak saya, saya akan meliput perang gerilya, saya kecewa dan ngomong ke komandan observer, “Bapak mengundang saya jauh-jauh masa hanya melihat upacara seremonial begitu.” Wah dia langsung marah, “Iya pak, terutama kan kalau saya dari audio-visual, kalau bisa saya dibawa ke sarangnya. Ternyata ada konflik di antara mereka sehingga MNLF tidak suka kompromi dengan pemerintah.
Saya dan kameramen saya berjalan ke sebuah lembah di mana MNLF bersarang, kami mengambil gambar. Kemudia saya masuk ke perkampungannya, ada orang yang membawa radio dan berkata, “No, No, No, where are you come from? Manila?”
“No, no, I’m form Jakarta, Indonesia.”
“Are you moslem?”
“Yes I’m moslem”
 “thank you brother” dia langsung meluk saya.
“May I crossing the bridge?”
“oh, I’m sorry this is prohibited area”
“but, may I take picture from here”
“oh, of course” Langsung saya ambil gambar bagaimana suasananya.
Tiba-tiba, Jenderal yang akan menghubungkan kita dengan mereka datang, turun, langsung DUAAR! DUAAAR! Semua prajurit turun dari lembah dan pesawat, saya mau diculik. Kameramen saya malah tenang aja ngambil gambar. Kemudian, langsung saya tarik mundur, dalam keadaan suara tembakan yang masih membahana. Untung dia karateka juga, langsung diumpetin kameranya. “Keluarin kasetnya!” kata saya, dalam kondisi darurat itu kaset lah yang paling berharga “Ganti kasetnya!” Kami terus mundur, tetapi pasukan terus turun dan mengepung kami. Insting saya mencari seseorang yang bisa menyelamatkan saya, saya lihat di salah satu tempat, ada dia yang membawa radio tadi. Terus saya berpikir, orang yang membawa radio tadi pasti orang yang penting. Itu pengalaman saya dari Menwa, bergaul dengan militer. Akhirnya saya teriak “HEY BROTHER! BROTHER!” begitu dia menoleh “HELP ME! HELP ME!” dia langsung berlari, mendorong prajurit yang menarik saya. Akhirnya dia yang berantem, saya dan teman saya langsung balik kanan, lari ke atas bukit. Di atas bukit, tim-tim observer juga sudah siapa lari, lari semua! (teratawa terbahak-bahak), sampai jaket saya ketinggalan. Semua lari ke mobil dan pulang. Ngambek kolenel itu, haha.. saya jelaskan bahwa saya tidak tahu kalau ada konflik internal, faktanya sampai sekarang memang berantem terus kan.

Itu pengalaman yang hampir merenggut nyawanya, kemudian ia menambahkan
Setelah selamat saya sempat berpikir, apa sebaiknya saya diculik saja ya? Dengan begitukan saya dapat lebih mendalami tindakan mereka.

Entah, pola pikir wartawan yang satu ini liar sekali ya, haha..

Ini pengalaman terburuk:

Kemarin waktu saya patah tangan ini, saya sedang survey untuk PON. Saya penanggung jawab untuk terjun payung. Saya terbang seperti biasa sebagai kameramen terjun payung, tiba-tiba talinya membelit ke sini (menunjuk lengan kanan atas). Kemudian terjadi tarik menarik di udara, bahu dan tangan saya patah karena ada tali membelit di sini. Kemudian saya mendarat dengan satu tangan, dari ketinggian 1200 meter. Sekitar empat menit saya kendalikan payung saya tanpa membuka penuh karena kalau dibuka penuh akan liar. Sampai saya bisa mendarat dengan baik dan aman. Setahun lebih saya istirahat, baru kemarin di Australia saya loncat lagi. Tenyata bisa, tetapi masih belom nyaman. Saya punya keyakinan, ibadah itu membuat kita tenang, membuat kita ikhlas melakukan itu. Kejadian itu membuat saya sadar bahwa saya masih disayang Tuhan. Saya diberikan anugerah unuk berpikir cepat, memaluakan tindakan cepat, dan meyakini itu semua. Tuhan mengatur itu semua, jangan pernah moral itu dijadikan nomer dua. Saya merasa jadi wartawan itu aspek moral, aspek fisik harus dijaga. Wartawan kalau fisiknya lemah, diajak kemana juga capek.

Pendapat beliau mengenai wartawan perempuan:

Di persaingan dunia dalam bidang apapun, perempuan masih di nomor duakan, tetapi ketika dia muncul dia akan mendapatkan nilai 200% dibandingkan laki-laki. Karena dianggap lemah jadi perempuan di nomor duakan. Misalnya kalau ada wartawan di istana, ketika itu laki-laki maka biasa saja, tetapi ketika itu perempuan dia akan lebih diperhatikan. Nah, itu peluang namanya, tetapi bukan dari segi negatif, seperti perempuan dari segi sensual. Hal ini sudah alamiah, ketika wartawan laki-laki mengobrol geuleuh aja (tertawa ringan), tetapi kalau ada perempuan pasti akan diistimewakan, ladiest first, Itu peluang. Contoh, wartawan kepresidenan, si Paspampres itu kalau memberikan informasi ke wartawati duluan, saya tahu. Saya bisa dapet informasinya karena saya kenal dengan Paspampresnya, sama-sama penerjun. Wartawan perempuan dalam mencari berita, meliput, akan lebih dihargai karena ketika bertindak kasar, keras, kepada perempuan itu akan disorot dunia, apapun latar belakangnya. Jadi, perempuan itu di satu sisi di nomor duakan, di satu sisi punya kehormatan dan peluang, dan ketika muncul nilainya akan melebihi yang laki-laki. Oleh karena itu, peluang itu harus dimanfaatkan, kesopanan tetap dijaga, kerudungnya tetap dijaga. Kalau perlu bikin komunitas, wartawan perempuan agar bisa fokus mana kelemahan, kekurangan, dan peluangnya.

Terakhir, pesan beliau untuk Jurnalistik Fikom Unpad:

Saya berharap Fikom Unpad mampu menyediakan fasilitas dukungan kejurnalistikkan sehingga lebih menyeluruh, bukan sekedar pelajaran menajadi wartawan, Kedua, di kampus kelihatannya lebih banyak teoritis, padahal jurnalistik berbeda dengan yang lain, begitu masuk ke lapangan dia harus paraktis, dan jurnalistik itu bukan lebih banyak dari pengetahuan, tetapi dari latihan, drill! Drill! Drill! Terus latihan maka dia akan jadi! Karena tadi, ngolah otak, dan gerakan. Mental, siap berhadapan dengan deadline.
jadilah fakultasnya yang memang mengajarkan cara-cara pengajaran yang aktual, unik, dan spesifik. Aktual gak cara megajarkannya? Menarik gak? Penting gak? Kemudian dilatih kemampuan bahasa Inggirsnya. Ketiga, yang masuk Jurnalistik dilatih dulu dengan latihan kewiraan, kemiliterannya. Keempat, harus masuk training center karena memang fisik bagian dari pembentukan jurnalis yang baik.
Huoo..kebayang anak Jurnalistik ada latihan kemiliteran, cool men!

Setelah mengobrol bersama beliau rasanya ratusan mimpi di karton emas itu bisa tercapai. Diumurnya yang ke-57 beliau sudah dapat mewujudkannya. Saat ini umurku 19 tahun, tetap optimis!

Untuk kalian, 

mahasiswa muda dan berbahaya, 

tetap semangat, kejar mimpimu apapun itu. Tetap berjiwa muda, tetap jaga mimpinya, jangan takut untuk menjadi apapun. Lakukan semua dengan sebaik mungkin. Allah bersama orang yang mau berjuang.

Sekian pengalaman wawancara saya denga Effendi Soen, semoga dapat diambil hikmah dan pelajarannya.


Dokumentasi Effendi Soen:


Peliputan ke Puncak Cartenz




You Might Also Like

0 komentar

Instagram