Nurhuda, Menapaki Tujuh Puncak Dunia
6/06/2013 03:54:00 AM
Saat melakukan perjalanan seperti ini, saat tidak ada
kegiatan saya suka berfikir bagaimana saya bisa sampai sini. Rasanya dulu,
bermimpi juga saya tidak berani, tetapi akhirnya saya sudah di sana. Ini
merupakan pengalaman spiritual tinggi buat saya, apalagi saat menghadapi
kegagalan, benar-benar terasa bahwa manusia itu sangat tidak berdaya, bukan
makhluk superior.
Cartenz
Pyramid (4.884 mdpl) di Papua, Puncak Kilimanjaro (5.895 mdpl) di Tanzania,
Puncak Elbrus (5.642 mdpl) di Rusia, Puncak Aconcagua (6.962 mdpl) di
Argentina, Puncak Denali/Mc Kinley (6.194 mdpl) di Alaska, Puncak Vinson Massif
(4.897 mdpl) di Antartika.(ANT), dan terakhir Puncak Everest di Himalaya adalah
tujuh puncak tertinggi di ketujuh benua yang berhasil didaki oleh Nurhuda dan
Iwan Irawan. Mereka berhasil menjadi seven
summitersbersama Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia.
Berikut
adalah hasil bincang-bincang Lancong Bersama Nurhuda mengenai perjalanan
panjangnya hingga berhasil menjadi seven
summiter.
Apa pencetus ide awal
hingga Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia ini dapat terwujud?
Sebenarnya rencana awal kami adalah pendakian Kilimanjaro,
tetapi dirasa kurang menarik sponsor.Karena itu, selang satu minggu, rencana
kami berubah. Kenapa tidak sekalian saja membuat yang lebih “seksi”, seperti seven summit?Sadar hal ini tidak bisa
dilakukan oleh kami berlima, kami berusaha menarik orang-orang yang lebih power full.Kami memperluas struktur,
dari kami berlima sebagai pencetus awal menjadi hanya tim pendaki, dari acara
WANADRI menjadi acara nasional. Kami ingin menyukseskan seven summit ini untuk mengharumkan nama Indonesia.
Apa saja persiapan
yang kalian lakukan, adakah program latihan khusus?
Setelah ide seven
summit tercetus, tahun 2009 kami mulai berlatih. Walaupun belum pasti akan
terlaksana kami semua memiliki komitmen yang kuat, jadi tidak jadi yang penting berlatih! Latihan kami belum ada
program khusus, kami memulai dengan jogging,
di trek yang lurus dan cross country,
naik-turun, punya variasi medan, seperti di lembang dan Cikapundung, setiap
hari.
Agenda latihan disesuaikan dengan gunung apa yang akan
didaki. Kami mengurutkannya dari yang termudah dan termurah hingga yang
tersulit dan termahal.Berawal dari Cartenz hingga Everest.
Tahun 2010 awal, kami mulai bekerja sama dengan FK Unpad
bagian faal dan gizi.Mereka mengontrol makanan dan gizi kami selama tiga tahun
kedepan. Latihan dengan program khusus sudah dimulai. Penguatan otot lower body, senin-jumat, sehari dua
kali, ditambah sabtu-minggu latihan di lapangan; Tebing Citatah karena saat pendakian
cartenz bayak dijumpai medan vertikal, 40-90 derajat. Kami berlatih dua bulan
untuk mendaki Puncak Cartenz.
Pendakian Cartenz sendiri juga dijadikan ajang latihan untuk
mendaki gunung es.April 2010, kami memulai pendakian.Normalnya pendakian
ditempuh selama 6 hari, tetapi kita buat menjadi 24 hari, untuk ajang latihan.Kami
berlatih Glacier Travel, snow and ice climbing
, moving together, Crevasse rescue, dan camping
di salju.Kami semua pendaki pemula, dari nol, belum ada pengalaman mendaki
gunung es.
Untuk Kilimanjaro, treknya tidak terlalu sulit. Hanya trekking panjang, sehari kami berjalan
bisa mencapai 10km, dengan kenaikan ketinggian 1000m. Untuk mempersiapkan ini,
kami latihan trekking dari bromo ke
semeru sambil membawa beban.
Selanjutnya adalah gunung-gunung bersalju; Puncak Aconcagua, Puncak
Denali, Puncak Vinson Massif, dan terakhir Puncak Everest.
Saat pendakian Denali tidak ada porter, jadi kami harus
membawa seluruh beban sendiri.Ini dilakukan dengan teknik pembawaan kereta
salju yang kami tarik sendiri sambil menggendong ransel .Untuk mempersiapkannya
kami berlatih dengan jogging sambil menarik
ban mobil di sabuga.
Untuk gunung es kami berlatih di gunung gede, selama
seminggumembawa beban, menggunakan crampon; sepatu dengan runcing atau cakar es
untuk berjalan di es, harnest, dan menggunakan teknik moving together, ini dilakukan untuk membiasakan memakai peralatan.
Moving together
adalah mendaki bersama-sama, tiap orang dihubungkan dengan tali. Ini untuk
mencegah dari bahaya crevasses/
jurang es . Crevasses adalah jurang
akibat pergerakan es gletser. Jurang ini dapat tertutup salju sehingga tidak
terlihat. Bila ada yang terperosok ke dalam creasses,
teman yang dibelakangnya bisa menahan.
Dalam pendakian, fisik hanya berperan 10-20%.Aspek yang
bermain lebih penting ialah mental dan kebiasaan .Kedua hal ini harus dilatih,
seperti membiasakan menggunakan peralatan.Jangan sampai peralatan yang kita
bawa menjadi ‘pisau bermata dua’.
Untuk pendakian
Puncak Everest tim ekspedisi terbagi menjadi dua tim, utara dan selatan,
pertimbangan apa yang menjadi landasannya?
Kami membagi dua tim untuk menempuh jalur utara dan selatan
untuk memperbesar kemungkinan mencapai puncak. Saya rasa itu merupakan
keputusan yang tepat.Di Everest jalur selatan relative lebih mudah dan ramai tetapi
lebih berbahaya karena ada khumbu ice fall, sedangkan jalur utara lebih sulit
dan sedikit pendaki, 60% berupa batuan. Saya termasuk tim jalur utara.
Namun, sayang sekali, tim jalur selatan gagal mencapai
puncak. Hal ini terjadi karena ada kebocoran forecast. Dalam pendakian Everest, untuk mencapai puncaknya, harus
menunggu summit window, cuaca yang
cerah.Momen summit window ini hanya
terjadi satu hari dalam satu bulan saat di tahun 2012, normal bisa sampai empat
hari atau lebih. Untuk mengetahui forecast
pendaki perusahaan ekspedisi harus membelinya dengan harga mahal. Saat
pendakian kemarin, di jalur selatan, informasi summit window bocor ditambah keadaan summit window yang hanya satu
hari sehingga terjadi antrian ratusan pendaki untuk sampai ke puncak karena semua
pendaki naik dalam waktu yang bersamaan.Ini sangat fatal, oksigen yang dibawa pendaki
jumlahnya terbatas. Karena lama mengantri banyak para pendaki yang
meninggal.Tim ekspedisi jalur selatan pun gagal mencapai puncak.
Berbeda dengan kondisi jalur utara.Karena pendaki di jalur
utara lebih sedikit lebih mudah untuk mencapai puncak.Tidak menyangka, akhirnya
saya dan Iwan berhasil mencapai puncak Everest.
Apa pengalaman
terburuk yang pernah Anda alami selama ekspedisi?
Saat pendakian
Aconcagua adalah pengalaman terburuk saya.Saat diketinggian 6800 saya harus
turun karena terkena penyakit ketinggian, padahal 100 m lagi puncak.Ini menjadi
beban mental tersendiri buat saya, tetapi setelah turun dan sehat
kembali, saya kembali mencoba mencapai puncak.Setelah pendakian selama dua hari
saya dapat mencapai puncak, syukurlah.Untuk suhu terekstrim ialah saat di
Denali, suhunya bisa mencapai -50 derajat.
Setelah menaklukkan
tujuh puncak tertinggi di tujuh benua adakah perubahan dalam diri Anda yang
Anda rasakan?
Menurut saya yang paling penting bukan puncaknya.Banyak
faktor yang bisa menggaggalkan.Kalau saya berhasil itu karena saya dikasih
kesempatan untuk sampai ke puncak. Sekuat apapun fisik dan kekuatan kita kalau
cuaca buruk tidak akan bisa. Campur tangan tuhan banyak bermain.
Saat melakukan perjalanan seperti ini, saat tidak ada kegiatan
saya suka berfikir bagaimana saya bisa sampai sini. Rasanya dulu, bermimpi juga
saya tidak berani, tetapi akhirnya saya sudah di sana. Ini menjadi pengalaman
spiritual tinggi buat saya, apalagi saat menghadapi kegagalan, benar-benar
terasa bahwa manusia itu sangat tidak berdya, bukan makhluk superior.
Kalau berfikir, selama tiga tahun saya berlatih, sehari dua
kali, dan akhirnya bisa mencapai puncak Everest, Di puncak everst saya malah bengong-bengong aja, merenung, tidak
percaya akhirnya bisa sampai puncak yang merupakan impian banyak orang. Banyak
yang meninggal karena ingin mencapai impian ini.Banyak sekali orang yang lebih
mampu dari saya tetapi belum memiliki kesempatan.
Kalau dulu saya dan teman-teman diam-diam saja, tidak berani
bermimpi, ini tidak akan pernah terjadi.
Setelah Ekspedisi
Tujuh Puncak Dunia ini berhasil terlaksana, apa impian Anda selanjutnya?
Setelah selesai, semua berkomitmen di sini, tidak ada yang
setengah-setengah.Jika niat kita benar insya
Allah ada jalannya.Kedepannya kami bertekad untuk tetap menjaga
semangat.Area kerja kami masih seputar alam bebas.Obsesi saya untuk mendaki
masih sangat besar, masih banyak gunung yang lebih tinggi yang belum didaki.
Kita tetap bisa melanjutkan apa yang kita suka, mimpi-mimpi kita, perjuangan
kita.
Everest gunung berbahaya tetapi bukan yang paling berbahaya.
Mimpi kita yaitu sejajarkan diri kita, Indonesia, dengan negara lain. Ada 14 puncak tertinggi di dunia, semua di
atas 8000 m, hanya pendaki-pendaki elit saja yang mampu. Indonesia masih jauh
untuk ke sana.
Adakah saran untuk
para pendaki Indonesia yang bermimpi menjadi seven summitter seperti Anda?
Pertama keinginan yang kuat. Ini akan menjadi fondasi, dasar
untuk kita melangkah lebih jauh. Kalau keinginan kita kuat, proses seberat
apapun pasti bisa kita tahan.Kalau keinginan cuma setengah-setengah hanya
mempersiapkan diri kita untuk gagal.Bukan siap untuk mati, tetapi siap untuk hidup
dan berhasil. Jika niat kita baik, sungguh-sungguh, pasti banyak yang akan
membantu dan mendukung.
Nurhuda saat sedang diwawanarai |
dari kiri kek kanan: foto saat summit di Aconcagua, Elbrus dan Cartenz. Di bawahnya senjata perang dari suku di Nepal |
Narasumber: Nurhuda
Reporter: Farah Qoonita dan Cendikia Panggih
Sumber Foto: Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia
0 komentar