Pangliaran, Aku Memilihmu (Catatan KKN 1)
2/12/2015 06:26:00 AM
“Ada gak sih, yang milih Pangliaran secara sukarela?
Kayaknya gak ada deh, semua pada ngasal kliknya!” Ujar salah seorang perempuan
yang belum aku kenal.
Kemudian ramai, teman-teman lain bersahutan menanggapi, “Iya,
aku juga! Tadinya mah gak mau di Pangliaran.”
Ramai, delapan orang perempuan di ruang tengah berbincang
seru. Lalu, aku tahu, setelah 28 hari kulalui malam bersama mereka,
perbincangan sebelum tidur menjadi agenda wajib yang tidak terlewatkan.
Aku dan Dian tidur di kamar, yang kelak dinamakan “kamar
Qoonit”, juga ada Rahmi, Nana, dan Intan, yang tidur di kamar, yang kelak akan
dinamakan “Kamar Nana”.
Dian sudah tertidur pulas waktu perbincangan itu
berlangsung. Mataku sudah terpejam, tapi telingaku masih mendengar. Ingin
sekali aku bergabung, menanggapi obrolan mereka, “Aku! Aku dan Dian sengaja
milih Pangliaran!”. Namun, teriakannya hanya bergema di dalam hati. Aku sudah
lelah, seharian dihabiskan dalam bus. Perjalanan Jatinangor – Pangliaran, plus
nyasar ke Salopa.
Jalan yang aku kira sudah kecil, ternyata masih mengecil,
mengecil, dan mengecil. Hingga Bus sudah tidak dapat masuk lagi. Satu jam
sebelum menuju dusun mungil tempat kami tinggal, 21 orang ini terlonjak-lonjak
dalam TKM, sebuah bus umum satu-satunya dari Pangliaran menuju Kota Tasik.
Jalanan rusak parah.
Kami harus berpegangan kalau tidak mau membenturkan kepala
dengan badan TKM. Suara TKM yang menderu-deru melewati jalanan yang amburadul,
membuat aku dan Dian harus berteriak-teriak untuk mengobrol dengan supir TKM.
Kami menanyakan pantai-pantai wisata di Tasik.
Laju TKM melambat. Kami memasuki sebuah gang gelap. Rumah-rumah
mungil dengan lampu yang temaram menghiasi. Ada yang terbuat dari anyaman bambu
sampai yang sudah berdinding batu. Beberapa warga yang duduk di depan rumah,
mulai turun ke jalan, penasaran melihat siapa yang datang.
Lalu untuk pertama kalinya, 21 orang yang Allah pilihkan ini
menginjak bumi Pangliaran. Senyum-senyum ramah warga menyambut kedatangan kami.
Kami pun balas tersenyum. Berjalan sedikit, kami tiba pada dua buah rumah yang
berdampingan. Kondisinya sangat baik, apalagi untuk rumah di Pangliaran. “yang
ini rumah cowok, ini cewek yaa..” Kata kordes, Irsal, sambil menunjuk rumah
berwarna kuning, lalu yang berwarna hijau.
Lalu untuk pertama kalinya kami memasuki rumah yang akan
kami tempati 29 hari ke depan. “Bagus kok, bagus..” gumamku juga teman-teman
sambil melihat-lihat ruangan.
Ah ya, mari aku kenalkan, Bumi Pangliaran!
Asal Mula Pangliaran
Tidak, seperti teman-teman lainnya. Aku dan Dian, tidak
main-main memilihmu, hai Pangliaran. Aku ingat waktu itu bersama Nisa, teman
kosan, dan Dian yang terhubung lewat line, kami mencari desa mana yang akan
kami pilih untuk KKN.
Nisa dan Dian yang menyebutkan tempatnya, lalu aku
mencarinya di google map. Dan di google bagian ‘images’. Lihat betapa
selektifnya kami. “Jangan yang ini deh, jauh dari gunung dan laut” atau “di
google kok view jelek-jelek ya, jangan aah, ganti..” dan seterusnya hingga kami
membaca nama “Pangliaran”. “Coba Pangliaran deh, namanya lucu..” ujar Nisa.
Setelah mencarinya di google maps, mataku membulat, memancarkan binar-binar
bahagia “Deket lauuuut! Liat deh, terus kita bisa susur pantai ke timur sampe
Pangandaran! Aaah..Pangliaran aja yuk!” papar Qoonit menggebu-gebu.
Nisa dan Dian mencarinya gambarnya di google. Lalu muncullah
gambar pantai, sawah, dan sekolah yang bersahaja. Ah, sejak saat itu kami jatuh
hati pada Pangliaran.
Lalu kami berjuang mendapatkan desa yang bahkan belum kami
kunjungi itu. Coba garis bawahi kata berjuang.
B-E-R-J-U-A-N-G.
Kalian tahu? Sepertinya tidak ada yang berjuang untuk
mendapatkan Pangliaran selain kami. Namun, kami benar-benar mengusahakannya.
Aku dan Dian, harus berkali-kali pindah posisi: Kosan Qoonit, Kosan Dian, Shafa
Yogurt, UKM Barat, Depan FTG, hingga gedung Pasca Fikom. Juga pindah waktu :
siang, malem, pagi, dan sore, untuk meng-klik Pangliaran. Mungkin ratusan kali
jumlanya, kami meng-klik opsi Pangliaran, lalu ratusan kali pula server
menggagalkan keinginan kami.
Hingga di hari berikutnya, di Perpustakaan Pasca Fikom, aku yang sudah lelah nge-klik, tiba-tiba dikagetkan Dian. “QOON! Gue udah bisa masuk! Cepet lo masuk!” Aku yang tengah duduk santai, setengah hopeless langsung duduk tegap, “DEMI APA DIAN??” secepat kilat tanganku meraih mouse, daaan...
Beberapa nama asing dari berbagai fakultas muncul.
Ah ya, mereka teman hidupku selama 30 hari nanti. “Hefff... akhirnya Pangliaran Diaaan” pancaran bahagia menghiasi wajah kami waktu itu.
Ah ya, mereka teman hidupku selama 30 hari nanti. “Hefff... akhirnya Pangliaran Diaaan” pancaran bahagia menghiasi wajah kami waktu itu.
Begitulah Pangliaran menjadi begitu spesial di mata aku dan Dian.
Kelap-kelip cahaya, timbul dan tenggelam di antara pepohonan di depan rumah. Sebuah kebon pohon pisang yang dipagari pohon Mala Dewa, saat malam tiba, menjelma menjadi taman kelap-kelip menggemaskan.
Triing..
“KUNAAANG-KUNAAANG!” teriak Qoonit dengan wajah sumringah, sambil menunjuk-nunujuk kebon, saat pertama kali melihatnya. Cahaya-cahaya mengambang, timbul dan tenggelam, banyak jumlahnya.
Kunang-kunang berterbangan, salah satu hal yang berkesan di
Bumi Pangliaran. Dari sana aku
sadari, akan banyak hal-hal romantis yang akan aku temui nanti. Hal-hal
sederhana seperti wajah ramah warga desa, lantunan ayat suci anak-anak setelah
maghrib, canda tawa teman-teman, dan banyak lagi cerita romantisme Pangliaran
selama 30 hari lamanya.
Ya, Pangliaran, aku memilihmu.
0 komentar