Perjalanan Masih Jauh Tuan-Tuan!

7/01/2013 03:18:00 PM

Berkali-kali aku mengistirahatkan bahuku dengan cara membungkuk hingga seperti rukuk, agar beban keril 80 l ini ditopang oleh punggung. Entah aku yang terlalu lemah hingga selalu merasa keberatan atau kerilku yang memang berat. 


Tanganku juga sedari tadi sudah aneh, kesemutan menjalar dari bahu hingga ujung jari dan susah diangkat! Seperti ada yang mengikat pangkal lenganku kuat-kuat hingga darah tidak bisa mengalir. Aku seperti kehilangan setengah kontrol atas tangan kiriku. Belum pernah tanganku kesemutan sebelumnya. Susah payah aku untuk hanya sekedar mengangkat veldples, kompas bidik, bahkan selembar peta.

Hari Sabtu, 22 Juni 2013 aku dan siswa palawa lainnya sedang mengikuti simulasi Navigasi Darat. Pelatih akan memberikan titik koordinat tertentu dan kami harus mencarinya dalam peta lalu menuju lokasi tersebut. Jadilah, kami harus berkeliling-liling Unpad sampai kaki Gunung Manglayang dari pukul 11.00-18.00 sambil menggendong keril.

Pada point ke-3 besi keril yang kukenakan harus di-packing karena keluar dari tempatnya, kata pelatih itu membahayakan. Sebenarnya kegiatan Navigasi Darat ini menyenangkan, hanya saja kerilku ini sangat amat tidak nyaman ditambah kondisi tangan kiriku yang kesemutan dan susah digerakkan. 

Sepanjang perjalanan aku terus menggerutu dalam hati, kenapa kang Cahyo harus tuker kerilnya sih! Kenapa gue gak pake tracker aja, toh selama ini kan gak papa! Kenapa dari dulu umi gak beliin aku keril sih, kan jadi susah harus pinjem-pinjem! dan bla..bla..bla.. hingga seruan teh Inung menyadarkanku,
"Tuan Qoonita tumben kamu tidak senyum-senyum, biasanya kamu senyum-senyum terus."
"Eh, iya teh, sudah lapar mungkin"
"Makanya percepat langkahnya, biar cepat makan"
"Siap Palawa!"

Aku terus bertahan hingga sore, sekitar pukul 15.00, saat mendekati kaki Gunung Manglayang,
Di tengah kenyamananku berbungkuk ria meringankan beban punggung, terdengar seruan pelatih,
"Tuan Farah, yang tegap tuan!"
"Siap palawa!" sambil kembali menegakkan tubuh dan memijit-mijit tangan.
"Kamu tidak papa tuan?"
"Masih kesemutan teh tangannya" Entah sudah pertanyaan pelatih yang keberapa kali atas tangan kiriku, sedari tadi pelatih hanya berkata, "Sering-sering digerakkan itu tangannya biar darahnya mengalir!"
"Coba saya lihat" Kang Rizky mendekat dan memengan tangan saya, "Tangan kamu dingin, lepas kerilnya!"
"Kamu packing-nya tidak benar ya tuan!" Teh Inung mencoba mencari permasalahannya.
"Saya packing seperti biasa kok teh"
"Coba kamu pakai keril saudara kamu itu" Saudaraku Ikhtiar melepas keril eiger 80 l nya.
Rasanya pake keril Ikhtiar setelah setengah hari menggendong rei tuh surga banget, ringan sekali saudara-saudara!
"Enak tidak?" Tanya teh Inung
"Enak sekali teh" 
"Coba diangkat tangannya!" Perintah kang Rizky
Kalau tangan lurus menempel tubuh adalah 0 derajat maka aku hanya berhasil mengangkatnya setinggi 45 derajat, "Tidak bisa kang.."
" Tuan Ikhtiar, bawakan keril saudara kamu!"

Jadilah selama dua point ke depan Saudaraku Ikhtiar bergantian dengan Saudaraku Iwan bergantian membawakan kerilku. Tidak menyangka aku akan merepotkan saudara-saudaraku, selama ini aku kira, aku cukup tangguh untuk kegiatan ini, Astaghfirullah..

Perjalanan pulang aku kembali menggendong keril tanpa pengurangan beban sedikit pun, pelatih kira darah di pergelangan tanganku sudah membaik, 
"Bagaimana tangannya tuan?"
"Tidak ada perubahan kang.."

Supermoon waktu itu baru saja terbit dan berhasil menghibur kelelahanku, Subhanallaah..
Sebenarnya aku kuat saja menahan rasa si tangan kiriku ini, tetapi aku takut dia mati. Tanganku itu dingin sekali, menggantung-gantung tidak berdaya. Makanya aku percepat langkahku agar cepat sampai sekre dan bisa melepas keril.

Tingkah keril itu semakin menyebalkan, sepanjang perjalanan pulang dia sering melorot jadi aku harus sering membenarkan talinya sambil berjalan, hanya yang kanan, karena tangan kiriku...yah kalian tahu.

Melihat sekre adalah pemandangan terindah hari itu, aku langsung melepas keril dan salat. Aku sadari gerakkanku semakin terbatas saja, aku tidak bisa menguncir rambut, tidak bisa menggulung lengan baju, tidak bisa melipat mukena, saat takbiratul ihram telapak tangan tidak bisa berdiri, saat rukuk tangan tidak bisa menempel pada lutut, saat berdoa tangan kiriku ini harus diangkat oleh tangan kanan.

"Aaagh..gue kayak orang cacat banget ky!" Keluhku pada Rizky, teman sekelompok saat NavDar
"Liat deh, kayak gurita gini.." Seruku sambil menggoyang-goyangkan tangan yang tidak berdaya. Rizky waktu itu malah tertawa-tawa meihat tanganku yang aneh, "Hahaa..aduh, maaf dong aku malah ketawa, udah..besok juga sembuh itu"

Intinya di hari itu, tidak ada yang menyangka bahwa persoalan tangan kiriku itu tidak main-main.

Saat pulang ke kosan, tidurku tidak nyenyak. Tidur sebentar, bangun, dan tanganku tidak mengalami perubahan. Terus seperti itu hingga pukul 1.00, setelah itu aku tersadar, masalah pada tanganku ini bukan hanya sekedar darah yang tidak mengalir! 

Bayangan-bayangan buruk menghantuiku, terbayang saudara-saudaraku yang khawatir atas tangan kiriku, terbayang aku berobat ke dokter, terbayang datang ke sekre palawa dan membicarakan masalah ini, terbanyang tidak bisa melanjutkan gunung hutan, terbayang semua hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi.

Air mataku mulai menetes, jadilah malam itu aku menangis sejadi-jadinya, takut tidak bisa melanjutkan Palawa. Sekuat apapun aku menstimulus diriku qoonit gak boleh cengeng! jangan nangis! jangan nangis!   tetapi air mata tetap keluar, istighfar..istighfar..lalu menangis lagi. Mungkin itu malam tergalau :''(

Pagi menjelang, mataku bengkak dan sipit, menyedihkan, semua orang yang melihatku tahu aku habis menangis. Aku ditemani teh Vivin ke Klinik Unpad untuk mengetahui penyakitku ini.

"Hemm.. ini yang kena saraf di daerah pangkal lengan, kamu gak bisa ikut diklat tanggal 29 nanti" Kata dokter memvonis kejam.
Dan air mata pun kembali menetes.
"yaaah..dok, masa gak boleh siiih.." sambil seenggukan.
"Kalau kamu pengen banget, kan tahun depan bisa." Dokter mencoba memberikan solusi.
Teh Vivin menepuk-nepuk pundakku mencoba menguatkan.

Semenjak hari itu berbagai cara pengobatan aku lakukan, mulai dari ke RS.Al-Islam ke bagian Klinik Umum Saraf, ke tukang urut Cimande, pengobatan kay hingga dikompres dengan handuk hangat setiap malam.

Hpku jadi ramai sekali, sms motivasi dan doa agar lekas sembuh dari saudara-saudaraku, dari anak-anak BKI, dari anak-anak kosan, sms keadaan dan strategi selanjutnya dari kang Imam sebagai Komandan Latihan, dan sms dari Umi untuk pengobatan. Aku sampe capek balesinnya, huff.

Enam hari berlalu, tangan kiriku banyak kemajuan, aku sudah bisa mengangkatnya hingga 180 derajat, sudah bisa menguncir rambut, sudah bisa takbiratul ihram, rukuk, dan berdoa dengan baik, dan sudah bisa melambaikan tangan.

Kamis, 27 Juni 2013, Dokter Nani, Dokter ahli saraf senior di RS.Al-Islam sudah memvonis bahwa aku terkena Saraf Jepit dan tidak bisa mengikuti Gunung Hutan walaupun progressku sangat baik. Semenjak saat itu, aku sudah menyerah walaupun belum sudi bilang mengundurkan diri dari palawa ke Kang Iman. Aku mencoba menguatkan hati yang remuk dan mencoba dengan sepeuh hati menerima apapun yang sudah ditakdirkanNya.

Sesak sekali rasanya, ketika menjadi Palawa sudah sebentar lagi, tetapi harus tersandung masalah ini. 

Aku mencoba tersenyum, berdiri tegap, dan menegakkan pandangan. 

Petualanganku tidak akan berhenti hanya karena aku berhenti dari Palawa kan? 

Selama ini aku sudah mendapatkan banyak sekali ilmu dari Palawa; Arung jeram, Rock Climbing, dan Susur Gua.
Selama ini Palawa sudah mengisi waktu liburanku, dan me-refresh kepenatan selama kuliah
Selama ini Palawa sudah melatih kekuatan fisikku dan meningkatkan daya tahan tubuh
Palawa juga mengajarkan bahwa mental bisa dimainkan, itu berarti kekuatan kita juga bisa dimainkan
Palawa melatihku untuk menghargai waktu, penting sekali manajemen waktu!
Palawa sudah banyak memberikanku pengalaman luar biasa!
Palawa mempertemukan aku dengan saudara-saudara dan pelatih-pelatih hebat!

Hey, banyak sekali yang bisa aku syukuri! :D

Dari kejadian ini aku mengerti,
Serapih apapun aku menyusun cita-cita hidupku, Allah lebih rapih lagi menuliskannya di Lauful Mahfuz
Sesering apapun aku berlatih menguatkan otot, kalau Allah sudah berkehendak, push up satu kalipun aku tak sanggup.
Kalau Allah sudah bilang berhenti, ya berhenti! Aku belajar untuk berhuznuzon dalam kondisi seburuk apapun.
Belajar menerima, belajar ikhlas, belajar tersenyum di kondisi yang sulit.

Allah pasti punya maksud  tertentu dengan kejadian ini, pasti ada hikmahnya walaupun saat ini masih tersembunyi.
Seperti, coba kalau kang Cahyo menukarnya setelah aku simulasi, bisa lumpuh total tanganku. Baru enam jam saja sudah seperti ini.
Atau mungkin aku lebih cocok di Wanadri, mungkin..haha
Suatu saat nanti pasti terungkap hikmahnya! :)
Allah kan sutradara paling hebat!

Sore hari, 28 Juni 2013. Aku, Eci, dan Uut ingin mengucapkan salam perpisahan sebelum mereka berangkat Gunung-Hutan. Kami bertiga memiliki nasib yang sama, Eci mengalami patah tulang di pergelangan kaki kanan dan di jari tengah kiri, Uut ada ujian 8 SKS yang entah mengapa tiba-tiba dipindah saat GunHut, intinya kami bertiga tidak bisa mengikuti Gunung Hutan dan kami bertiga sudah dikeluarkan dari Palawa oleh Kang Imam.

 Kami bertiga menunggu di lapangan Sekre, duduk dan bercerita tentang nasib yang menimpa kami, "Ibaratnya yaa, Eci masih satu meter lagi menuju gunhut, Aku 30 cm lagi, kalo kamu 1 cm lagi Qoon!"Kata Uut yang disambut tawa oleh kami bertiga. Ya, bahkan kami menertawakan kesedihan kami!

Suara derap langkah terdengar, disusul oleh lagu tiada gunung terlalu tinggi...
Aku melihat saudara-saudaraku berlalri dalam barisan, di dampingi para pelatih, sambil bernyanyi. Eci dan Uut langsung menutup telingan dan mengalihakan pandangan "Gak mau denger! gak mau denger!"kata mereka sambil meneteskan air mata.

Aku masih berdiri, melihat mereka, terperangah, hey, biasanya aku berada di barisan itu, ikut bernyanyi walaupun terengah-engah, tetap berlari walaupun lelah. Nyatanya aku berdiri sendiri, tanpa baju olahraga, pita siswa, dan sepatu ceko.
"Eciiii, Uuut, gak boleh nangiiiis!"Seruku dengan mata yang berkaca-kaca.

Saat binjas usai, kami menemui mereka. Pelukkan, ucapan perpisahan, ucapan semangat, dan air mata langsung mewarnai senja saat itu.
"Qoonit, kenapa gak ikut? kan kerilnya bisa dibawain pandu atau najib!"
"Qoon, nanti siapa yang nulis catper lucu lagii?"
"Qoon, nanti siapa yang nemenin aku salat?"
"Qoon, masa belom sembuh sih? beneran gak bisa ikut?
Sambil mengusap air mata aku tanggapi pertanyaan mereka,
"Tapi Januari aku bisa kok tinggal ikut Gunung-Hutannya aja!"
"Yaudah! Januari ikut ya Qoon! gue tunggu loh!"

Setelah itu kami berfoto bersama


Semangat ya kalian Gunung Hutannya! Jangan ada yang menyerah!

Yak, sekian kisah Tuan 025 ini harus berakhir, entah kelanjutannya seperti apa :)
Qoon-Eci-Uut
Banyak sekali hikmah dan pelajaran atas kejadian ini.

Jadi teringat seruan pelatih..

Perjalanan masih jauh tuan tuan!
SIAP MASIH JAUH!
Artinya?
JALAN TERUUUS!

Ya. Petualanganku tidak berhenti di sini! 

You Might Also Like

0 komentar

Instagram