There's no Fairy Tail

11/21/2016 04:08:00 AM

"Apa yang membuatmu begitu yakin? Rencanamu tidak realistis!" Ucap seorang lelaki berambut putih sambil menyilangkan tangannya di dada.

"ayolah kawan, percaya padaku! If you will, there's no fairy tale. Kau lupa ya? kita bangsa paling tinggi yang diciptakan Tuhan." balasnya tak kalah percaya diri.

Aku malah asik menyeruput teh hangat sambil menonton mereka berdebat. Ah, golongan tua dan muda ini selalu saja tak mau kalah.

Seperti biasa, setiap minggu kami berkumpul di markas besar. Ruangan ini amat rahasia. Dijaga dengan pengamanan berlapis.

Dari luar, markas kami hanyalah sebuah tempat cukur rambut pria, kecil, dan sederhana. Sebuah kamuflase yang amat baik aku rasa. Sebutkan tiga kata sandi rahasia, lalu seseorang akan membukakan pintu untukmu. Melewati beberapa lorong, menuruni anak tangga, dan sebuah ruangan    seluas lapangan sepak bola terhampar.

Kami punya semuanya di sini. Tempat rapat, bar, biliard, kolam renang, perpustakaan, home teather, hingga bagian yang paling aku suka, lantai dansa untuk berpesta lengkap dengan wanitanya.

Hari ini kami sedang rapat. Membahas narasi 100 tahun ke depan. Kau sebut ini berkhayal? bagi kami ini nyata.

Kami tidak pernah main-main.

Bill, seorang lelaki tua berumur 60 tahun, masih menyilangkan tangannya di dada. Mukanya ditekuk, cemberut, tak suka dengan rencana Theo yang menurutnya gila.

"Kau sadar tidak! hari ini bangsa kita tercerai berai! Dibenci seluruh dunia, diusir, kita musuh bersama. Bahkan sepetak tanah pun tak punya. Lalu kau ingin menguasai dunia dalam waktu 50 tahun? Bah! Kau sudah gila Theo!" Teriak Bill sambil memukul meja dengan kesal.

Perdebatan ini semakin memanas. Tapi kawan gilaku, Theo, ini masih saja tenang dan amat percaya diri.

"Dengarkan aku dulu Bill," balas Theo sambil tersenyum.

Ia lalu membentangkan sebuah peta dunia sepanjang dua meter di meja rapat. Kami semua merapat, siap untuk menyimak baik-baik.

"Begini rencananya, dengar baik-baik." Theo berbicara sambil tersenyum penuh arti.

Kami semua mengangguk patuh.

"Kalian tahu Dinasti Ottoman sudah sangat sakit. Mereka lemah saat ini. Hidup mewah, silau harta, saling berebut jabatan. Al-Quran dan Hadits tak lagi di dalam hati mereka. Ini peluang besar! keruntuhannya tinggal hitungan tahun." Ujar Theo memulai penjelasannya, sambil menatap mata kami tajam.

"Richard, Allen, Barbara, Christoper, tugas kalian mengendalikan para pemimpin negara. Adakan Konferensi Internasional. Pecah belah Dinasi Ottoman, pastikan tiap negara dapat bagiannya. Percayalah, si tua bangka Hamid tak akan mampu melawan."

Keempat orang yang ditunjuk hanya manggut-manggut.

"Dan kau Alex, sebagai tangan kanan Perdana Menteri Inggris, buat ia memberikan bagiannya untuk Kita. Sepertinya isu Kuil Solomon di Palestina bisa kita gunakan untuk menarik para fanatik Yahudi merapat." papar Theo sambil mengarahkan telunjuknya ke arahku, dengan tatapan mata tajam.

"Ah, itu mudah Theo!" Balas ku sambil tersenyum dan mengacungkan jempol.

"Jika wilayah Ottoman sudah terpecah belah. Dengan berpedoman pada 24 protokol yang telah kita susun dengan sempurna, Kita akan segera memiliki tanah, membangun negara, dan menguasai dunia!" Jelas Theo sambil menunjuk wilayah Timur Tengah, lalu membuat lingkaran  besar di seluruh peta dunia dengan jari telunjukanya.

Kalimat terakhir Theo, disambut oleh gegap gempita tepuk tangan dan gelak tawa oleh seluruh peserta rapat.

"Haha! Kau genius Theo! genius!" ujar Allen tertawa, sambil menepuk-nepuk pundah Theo bersahabat.

"Tentu saja! Bagaimana pak tua? kau ikut rencanaku kan?" Tanya Theo dengan senyum percaya diri.

"Ah, Theodore Herlz, kau anak muda paling genius yang pernah ku temui. Tentu saja aku ikut!" ujar Bill, akhirnya menemukan kata sepakat dengan Theo.

Kami tertawa lagi. Ah, ikatan persaudaraan kami begitu kuat. Betapa aku mencintai para bedebah genius ini.

Rapat hari itu ditutup dengan gelak tawa dan pesta anggur. Kami mabuk hingga pagi.

You Might Also Like

0 komentar

Instagram