Romantisme Pangliaran (Catatan KKN 2)

2/12/2015 09:03:00 PM

Ada sebuah tempat,

dimana matamu akan berbinar-binar saat melihat air keluar dari kerannya. Terlihat sangat jernih, mengalir, jatuh, bergemericik dengan indahnya. “Yaampuuun airnya ngaliiirrr, seneeeng!” teriak Gita dengan mata berbinar-binar jika melihat air mengucur. Aku pasti langsung tertawa melihat tingkahnya yang sedikit berlebihan. Air mukanya itu seperti melihat emas permata saja. Namun, tak dapat dipungkiri, memang ada letup-letup bahagia di hati kalau melihat yang air mengalir dari keran.

Dengan air yang langka, kami bisa mandi hanya dengan enam sampai tujuh gayung. Mencuci baju, piring, semuanya dengan sesedikit mungkin air. Kadang harus menimba air dari rumah tetangga. Kadang juga kami menumpang mandi di rumah warga.  Ah, air menjadi begitu berharga, melihatnya membuat hati bahagia.

Begitu sederhana, tapi romantis..


Ada sebuah tempat,

Dimana akan terdengar suara-suara memanggil saat waktu makan tiba. “Gaissss, makan yook! Udah siap tuh!” teriak salah satu teman yang bertugas piket masak hari itu. Biasanya kami sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang nonton film, baca buku, tidur, ngobrol, dan teriakan itu biasanya hanya berbalas, “Yaa..yaaa..” lalu kami melanjutkan aktivitas masing-masing.

Bertambahlah tugas orang yang piket masak hari itu. “Atulaaah, makan dulu! Gue udah masak tuh!” Terjadilah aksi rayu-merayu untuk makan. Aku ingat cara ampuhku membuat teman-teman untuk makan, yang menurut mereka sangat menyebalkan.

“Mut, makan mut, makan mut, makan mut, mut, makan mut, makan mut..” Terus berulang-ulang. “QOON! Lu mau digebukin rame-rame ya!” seru Resa galak. Aku hanya membalas dengan cengangas-cengenges seperti biasa. “Makanya ayo makaan, haha..”. Mutia hanya bisa bangun sambil melengos, “Sumpah annoying banget” lalu pergi menuju ruang makan. Tuh kan ampuh!

Begitulah setiap hari. Seruan-seruan makan yang tidak bersambut, tapi sekarang aku rindu mendengarnya lagi.

Begitu sederhana, tapi romantis..


Ada sebuah tempat,

Dimana sinyal internetmu hanya bisa Edge. Itu pun dengan provider yang katanya nomer satu itu. Kami 21 orang yang terbiasa dengan sinyal HSDPA, terbiasa ber-sosial media, tentu tersiksa dengan keadaan ini. Maka pemandangan lucu sering terlihat. Kami sering keluar rumah untuk sekedar berkomunikasi mengunakan telepon pintar itu, untuk sekedar menggunakan line, wa, atau instagram. Duduk di teras, atau jalan sedikit ke jalan di depan rumah sambil mengangkat telepon pintar itu tinggi-tinggi.

Aku ingat saat  harus ke atas genteng untuk mengirim pesan elektronik yang berisi pesanan desain. Sambil menunggu pesan terkirim, aku menonton Ardo dan Gita bermain badminton di bawah sana, hingga akhirnya “YEEE TERKIRIM!!” Teriakku dengan muka berpancar kebahagiaan.

Pengorbanan yang dilakukan harus lebih besar lagi, saat Haviz ingin meng-upload video ke youtube. Dia harus ke Cibuniasih untuk mendapatkan sinyal HSDPA.

Lihat betapa berharganya sinyal HSDPA untuk kami.

Begitu sederhana, tapi romantis..


Ada sebuah tempat,

Dimana kadang tercium semerbak aroma bunga melati. Wangi ini hanya tercium di rumah pria. Kadang di ruang tengah, di teras, di kamar, yang paling sering di dapur. Karena itu, kelak dapur itu kami namakan “Kicen Melati”. Entah dari mana wangi ini berasal. Wanginya bisa berpindah-pindah, bisa samar-samar, bisa begitu kuat. Aku sungguh penasaran dengan fenomena ini, “Kok bisa sih! Di luar tuh gak bau sama sekali, tapi pas masuk dapur jadi wangi. Terus baunya dari mana dong?” Seru Qoonit tidak terima dengan kejadian yang tidak bisa diungkap dengan logika ini. Sering aku mengendus-ngendus dari mana bau ini berasal, dan berakhir pada tembok. Buntu. Tidak ketemu.

Sebenarnya wanginya enak, seperti pewangi ruangan, aku pun menyukainya. Namun, kejadian yang tidak bisa diungkap dengan nalar ini sungguh membuatku penasaran. Di hari-hari pertama, kejadian ini membuat kami gempar, tapi di hari terakhir kami sudah terbiasa. Bahkan, di malam terakhir wangi bunga melati begitu menyengat, “Eh, Ciken Melatinya mau pamitan tuuh..”ujar Ardo, yang segera disambut tawa oleh teman-teman.

Ciken Melati, sebuah misteri tak terungkap, yang berujung pada tawa canda.

Begitu sederhan, tapi romantiss..


Ada sebuah tempat,

Dimana anak-anak menjadi suatu hal yang ditakuti.

“Aa Havizzz, aaa Kugzyyy, aaa Ardoo, aa Ajiii, aa Solpaa…”

Teriakan itu terdengar sangat menyebalkan, “yak elah bocah-bocah lagi!” Seru Resa sambil masuk kamar. Malas meladeni  mereka.

Kalau sautan mereka tidak bersambut, mereka akan segera berpindah tempat, dan..

“teh Qooniiit, teh Diaaaan, teh Gitaaaa, teh Mutiaaaa, teh Raisaaa..”

Entah  mengapa anak-anak ini tumbuh menjadi pribadi yang berani, centil, dan rewel. Aa favorit mereka Haviz dan Kugzy. Menurut mereka dua pria itu ganteng. Maka setelah usai pengajian selepas magrib, sering mereka membisikan sesuatu padaku, “teh Qooniiit… titip salam buat a Haviz dan a Kugzy!” aku yang sudah terbiasa mendengarnya hanya tersenyum dan mengangguk.

Drama anak-anak perempuan yang hormon progesteronnya sedang aktif itu kian menjadi setiap harinya. Ada kalanya fans berat Hafiz dan Kugzy itu ngambek, marahan, karena gossip murahan tentang hubungan spesial Haviz dan Rahmi. Ini membuat kami tertawa terbahak-bahak. “Tu bocaah pada kenapa sih? Kebanyakan nonton sinetron kayaknya!” ujar Rahmi kesal karena menjadi peran antagonis dalam drama itu. Pernah juga mereka ngambek karena masakan kerang buatannya tidak dimakan.

Anak-anak perempuan geng pengajian Masjid Al-Barakah, yang kami takuti kedatangannya. Kini menjadi cerita lucu yang menyenangkan untuk dikenang. Hey, kalian sedang apa sekarang bocah-bocah? Jadi anak solehah yaa..

Ah kalian, begitu sederhana, tapi romantiss..  


Lalu banyak lagi, hal-hal romantis yang kami alami.

Main bekles bareng a Ardo

Ngisi pengajian geng Al-Barakah
Lihat kan! Kebahagiaan itu bukan bersumber dari lengkapnya fasilitas, atau dari terpenuhinya semua kebutuhan.


Bumi Pangliaran, mengajarkan ku tentang hal-hal sederhana yang ternyata berujung bahagia.

Tentang keterbatasan, yang ternyata menimbulkan kesenangan.

Toh, apapun kondisinya, kami tetap bisa tertawa terbahak-bahak, ceria, dan bahagia.

Inilah Romantisme Pangliaran. Petualangan gila tiga puluh hari lamanya.

Begitu sederhan, tapi romantisss ;)

You Might Also Like

0 komentar

Instagram