Ada sebuah tempat,
dimana matamu akan berbinar-binar saat melihat air keluar
dari kerannya. Terlihat sangat jernih, mengalir, jatuh, bergemericik dengan
indahnya. “Yaampuuun airnya ngaliiirrr, seneeeng!” teriak Gita dengan mata berbinar-binar
jika melihat air mengucur. Aku pasti langsung tertawa melihat tingkahnya yang
sedikit berlebihan. Air mukanya itu seperti melihat emas permata saja. Namun,
tak dapat dipungkiri, memang ada letup-letup bahagia di hati kalau melihat yang
air mengalir dari keran.
Dengan air yang langka, kami bisa mandi hanya dengan enam
sampai tujuh gayung. Mencuci baju, piring, semuanya dengan sesedikit mungkin
air. Kadang harus menimba air dari rumah tetangga. Kadang juga kami menumpang
mandi di rumah warga. Ah, air menjadi
begitu berharga, melihatnya membuat hati bahagia.
Begitu sederhana, tapi romantis..
Ada sebuah tempat,
Dimana akan terdengar suara-suara memanggil saat waktu makan
tiba. “Gaissss, makan yook! Udah siap tuh!” teriak salah satu teman yang
bertugas piket masak hari itu. Biasanya kami sedang sibuk dengan kegiatan
masing-masing. Ada yang nonton film, baca buku, tidur, ngobrol, dan teriakan
itu biasanya hanya berbalas, “Yaa..yaaa..” lalu kami melanjutkan aktivitas
masing-masing.
Bertambahlah tugas orang yang piket masak hari itu.
“Atulaaah, makan dulu! Gue udah masak tuh!” Terjadilah aksi rayu-merayu untuk
makan. Aku ingat cara ampuhku membuat teman-teman untuk makan, yang menurut
mereka sangat menyebalkan.
“Mut, makan mut, makan mut, makan mut, mut, makan mut, makan
mut..” Terus berulang-ulang. “QOON! Lu mau digebukin rame-rame ya!” seru Resa galak. Aku hanya membalas
dengan cengangas-cengenges seperti biasa. “Makanya ayo makaan, haha..”. Mutia
hanya bisa bangun sambil melengos, “Sumpah annoying banget” lalu pergi
menuju ruang makan. Tuh kan ampuh!
Begitulah setiap hari. Seruan-seruan makan yang tidak
bersambut, tapi sekarang aku rindu mendengarnya lagi.
Begitu sederhana, tapi romantis..
Ada sebuah tempat,
Dimana sinyal internetmu hanya bisa Edge. Itu pun dengan
provider yang katanya nomer satu itu. Kami 21 orang yang terbiasa dengan sinyal
HSDPA, terbiasa ber-sosial media, tentu tersiksa dengan keadaan ini. Maka
pemandangan lucu sering terlihat. Kami sering keluar rumah untuk sekedar berkomunikasi
mengunakan telepon pintar itu, untuk sekedar menggunakan line, wa, atau
instagram. Duduk di teras, atau jalan sedikit ke jalan di depan rumah sambil
mengangkat telepon pintar itu tinggi-tinggi.
Aku ingat saat harus
ke atas genteng untuk mengirim pesan elektronik yang berisi pesanan desain. Sambil
menunggu pesan terkirim, aku menonton Ardo dan Gita bermain badminton di bawah
sana, hingga akhirnya “YEEE TERKIRIM!!” Teriakku dengan muka berpancar
kebahagiaan.
Pengorbanan yang dilakukan harus lebih besar lagi, saat
Haviz ingin meng-upload video ke youtube. Dia harus ke Cibuniasih untuk
mendapatkan sinyal HSDPA.
Lihat betapa berharganya sinyal HSDPA untuk kami.
Begitu sederhana, tapi romantis..
Ada sebuah tempat,
Dimana kadang tercium semerbak aroma bunga melati. Wangi ini
hanya tercium di rumah pria. Kadang di ruang tengah, di teras, di kamar, yang
paling sering di dapur. Karena itu, kelak dapur itu kami namakan “Kicen
Melati”. Entah dari mana wangi ini berasal. Wanginya bisa berpindah-pindah,
bisa samar-samar, bisa begitu kuat. Aku sungguh penasaran dengan fenomena ini,
“Kok bisa sih! Di luar tuh gak bau sama sekali, tapi pas masuk dapur jadi
wangi. Terus baunya dari mana dong?” Seru Qoonit tidak terima dengan kejadian
yang tidak bisa diungkap dengan logika ini. Sering aku mengendus-ngendus dari
mana bau ini berasal, dan berakhir pada tembok. Buntu. Tidak ketemu.
Sebenarnya wanginya enak, seperti pewangi ruangan, aku pun
menyukainya. Namun, kejadian yang tidak bisa diungkap dengan nalar ini sungguh
membuatku penasaran. Di hari-hari pertama, kejadian ini membuat kami gempar,
tapi di hari terakhir kami sudah terbiasa. Bahkan, di malam terakhir wangi
bunga melati begitu menyengat, “Eh, Ciken Melatinya mau pamitan tuuh..”ujar
Ardo, yang segera disambut tawa oleh teman-teman.
Ciken Melati, sebuah misteri tak terungkap, yang berujung pada
tawa canda.
Begitu sederhan, tapi romantiss..
Ada sebuah tempat,
Dimana anak-anak menjadi suatu hal yang ditakuti.
“Aa Havizzz, aaa Kugzyyy, aaa Ardoo, aa Ajiii, aa Solpaa…”
Teriakan itu terdengar sangat menyebalkan, “yak elah
bocah-bocah lagi!” Seru Resa sambil masuk kamar. Malas meladeni mereka.
Kalau sautan mereka tidak bersambut, mereka akan segera
berpindah tempat, dan..
“teh Qooniiit, teh Diaaaan, teh Gitaaaa, teh Mutiaaaa, teh
Raisaaa..”
Entah mengapa
anak-anak ini tumbuh menjadi pribadi yang berani, centil, dan rewel. Aa favorit
mereka Haviz dan Kugzy. Menurut mereka dua pria itu ganteng. Maka setelah usai
pengajian selepas magrib, sering mereka membisikan sesuatu padaku, “teh Qooniiit…
titip salam buat a Haviz dan a Kugzy!” aku yang sudah terbiasa mendengarnya hanya
tersenyum dan mengangguk.
Drama anak-anak perempuan yang hormon progesteronnya sedang
aktif itu kian menjadi setiap harinya. Ada kalanya fans berat Hafiz dan Kugzy
itu ngambek, marahan, karena gossip murahan tentang hubungan spesial Haviz dan
Rahmi. Ini membuat kami tertawa terbahak-bahak. “Tu bocaah pada kenapa sih? Kebanyakan
nonton sinetron kayaknya!” ujar Rahmi kesal karena menjadi peran antagonis
dalam drama itu. Pernah juga mereka ngambek karena masakan kerang buatannya
tidak dimakan.
Anak-anak perempuan geng pengajian Masjid Al-Barakah, yang
kami takuti kedatangannya. Kini menjadi cerita lucu yang menyenangkan untuk
dikenang. Hey, kalian sedang apa sekarang bocah-bocah? Jadi anak solehah yaa..
Ah kalian, begitu sederhana, tapi romantiss..
Lalu banyak lagi, hal-hal romantis yang kami alami.
Main bekles bareng a Ardo |
Ngisi pengajian geng Al-Barakah |
Lihat kan! Kebahagiaan itu bukan bersumber dari lengkapnya
fasilitas, atau dari terpenuhinya semua kebutuhan.
Bumi Pangliaran, mengajarkan ku tentang hal-hal sederhana yang ternyata berujung bahagia.
Tentang keterbatasan, yang ternyata menimbulkan kesenangan.
Toh, apapun kondisinya, kami tetap bisa tertawa
terbahak-bahak, ceria, dan bahagia.
Inilah Romantisme Pangliaran. Petualangan gila tiga puluh
hari lamanya.
Begitu sederhan, tapi
romantisss ;)