Danau "Para Pengembara"

11/24/2014 10:31:00 PM

Sejak tadi suara HT sudah berderit derit.

Kresek kresek..

HT menangkap sinyal, lalu sebuah suara lewat frekuensi yang telah diatur masuk.

"Kita tertahan di pos 3, mba Ira collapse, ganti."

Sontak suasana ramainya peserta yang sedang terpesona menatap bintang di langit mendadak sepi.

"Collapse? Siapa yang collapse?"

Semua bertanya-tanya dalam kekhawatiran.

Malam itu, hari Jumat (21/11) pukul 21.30. Kami sedang berada di tengah padang savana. Di depan danau Ranukumbolo yang hitam. Di bawah langit bertabur bintang. Semuanya gelap kecuali beberapa meter ke depan yang kami terangi dengan lampu di kepala. Kondisi kami kelelahan karena sudah mendaki sejak pukul 15.15.

Setelah pak Nyoman, sebagai pemimpin grup satu, berkomunikasi dengan pak Hamid, swiper grup dua, kami akhirnya tahu.

Mba Ira pingsan, hampir semaput, karena kedinginan dan kelelahan. Jaketnya ada di keril, sedangkan kerilnya dibawa porter. Akhirnya kami putuskan agar mba Ira dan empat orang lainnya menginap di pos tiga. Menunggu esok hari ketika suhu sudah menghangat.

Kami pun melanjutkan perjalanan menuju tempat kemah di Ranukumbolo yang telah disepakati.
Ranukumbolo dari atas tanjakan cinta

Berulang kali aku layangkan rasa syukur karena bisa kembali ke tempat indah ini.
Ranukumbolo. Artinya danau Para Pengembara. Aduhai, indah sekali arti dari Ranukumbolo itu.

Siapa sangka, tiga bulan berselang, aku kembali menginjakkan kaki di Semeru. Walaupun hanya sampai Ranukumbolo aku sudah senang bukan main.

Aku kembali membelah bukit, menempuh hutan rimba, mendengar suara kicauan burung, menapaki tanjakan, menikmati jalan datar, mensyukuri turunan, menahan beban keril, menikmati luasnya padang Savana di Oro oro Ombo dan masih terpesona melihat puncak Mahameru.
Puncak Mahameru dari jalur menuju Pos 3

Petualanganku kali ini bersama komunitas fotografi, Toekang Poto. Bersama mereka aku seperti melihat diriku dalam jumlah banyak. Biasanya dalam sebuah perjalanan, akulah yang selalu terlihat memegang kamera, memotret atau memvideokan kegiatan.

Kali ini orang sejenis itu banyak jumlahnya. Kameranya beragam. Dari yang serinya ribuan, ratusan, puluhan, hingga satuan pun ada. Tripod ada puluhan jumlahnya. Belum lagi lensa dan filter yang beraneka rupa. Ah, jelas saja, ini kan komunitas Fotografi.

Tidak berlebihan kalau aku bilang ini pendakian paling royal. Maklum, biasanya aku selalu berpetualang dengan gaya backpacker alias super irit. Dari gear yang mereka gunakan saja sudah menunjukkan ke-royal-an perjalanan ini.

Merk seperti Deuter, JWS, TNF, dan Eiger melekat di tubuh peserta. Mulai dari kerir, sepatu, jaket, dan alat gunung lainnya. Belum selesai sampai disitu, kerir-kerir ber-merk super nyaman itu ternyata digendong para porter.

Jadilah aku tidak melihat para pendaki dengan keril menjulang. Kebanyak peserta melenggang, hanya membawa tas pinggang kecil dan kamera, melewati jalur pendakian. Ini sama sekali tidak terlihat seperti mendaki gunung.

Memang pada awalnya, niat mereka adalah hunting foto bukan berpetualang. Ditambah dengan finansial yang cukup, jadilah petualanganku kali ini layaknya jalan jalan di taman saja.

Saat rombongan kami tiba di Ranukumbolo, tenda-tenda kuning lafuma kapasitas empat sudah kokoh berdiri. Tenda itu hanya diisi dua sampai tiga orang. Royal~

Kerir-kerir kami sudah bertumpuk di sekitar tenda. Para porter sudah tiba lebih awal. Kami tinggal memilih kerir, lalu memasukannya ke tenda.


Hal yang luar biasa dari perjalanan kali ini adalah umi dan abiku ikut! Perlahan-lahan mereka mulai menyukai petualangan.
Umi dan Abi akhirnya bisa sampe Ranukumbolo

Setelah melalui bulan-bulan lari pagi, akhirnya mereka berhasil juga sampai di Ranukumbolo. Ah, kalian luar biasa! Yah, walaupun kerir umi dan abi juga dibawakan porter seperti kebanyakan peserta lainnya, diumur menjelang setengah abad, kalian tetap luar biasa!

Bagaimana dengan aku? Tentu tidak, aku tetap menggendong kerirku sendiri walaupun memang bebannya jauh lebih ringan dari biasanya. Hehe

Aktifitas yang kami lakukan adalah memotret. Pagi hari motret, siang motret, sore motret, malem motret.

Tidak ada siang hari yang harus berlelah-lelah melintas bukit menuju kalimati. Tidak ada tengah malam yang harus terbangun untuk bersiap menuju puncak Mahameru.

Tidak ada pagi hari yang penuh perjuangan menapaki medan kerikil-batu yang longsor satu jengkal saat dipijak. Juga tidak ada wajah yang terbakar karena disengat matahari dan dihempas dinginnya angin Mahameru.

Semuanya santai!

Ketika malam menjelang..

"Yang mau belajar motret milkyway ke sini!" teriak pak Dudi sambil menggerak-gerakkan headlamp ke langit.

Rasanya telingaku langsung berdiri.

"motret milkyway???"

Kalian tahu betapa sulitnya mencari teman untuk memotret milkyway? Bahkan seringkali aku memotretnya seorang diri ditengah gelap dan dinginnya malam. Namun, kali ini jumlahnya banyak! Aku tidak sendirian lagi, ah betapa bahagianya. Aku mendengar istilah stellarium, utara, selatan, milkyway, bintang, dan sebagainya.Kalian semua terlihat seperti Qoonit!


Bukan hanya milkyway. Hal yang sama juga terjadi saat sunrise dan sunset. Menjelang matahari terbit, barisan tripod sudah berjajar di pinggir danau. Menjelang matahari terbenam kami pindah ke Oro Oro ombo karena matahari terbenam akan trlihat di sana.
Aktivitas pagi hari di pinggir Ranukumbolo
Oro-oro Ombo setelah tertabakar satu bulan sebelumnya
Menjelang matahari terbit di Ranukumbolo


Sesungguhnya mereka hanya terlihat "seperti Qoonit". Namun, kemampuan mereka jauh di atasku. Aku belajar banyak dari mereka. Selama ini rasanya aku hanya main main saja dengan Fotografi.

Cepat sekali tiga hari berlalu. Pada akhirnya memang dalam setiap perjalanan, tidak semua indah. Walaupun kali ini tidak se-petualangan biasanya, bijaklah kalau kita dapat mengambil pelajaran.

Minggu (23/11) pukul 14.00, aku dan rombongan turun menuju Tumpang dengan tiga Jeep. Aku duduk di belakang, menikmati setiap hempasan angin segar dari rimbunnya hutan dari kiri dan kanan jalan. Walaupun, beberapa teman yang lain mabok, buatku naik mobil jeep terbuka melintasi jalan kecil berliku, naik, dan turun sangat menyenangkan.

Aku menyadari, tiap hempasan angin yang menerpa tubuhku dari atas Jeep, tiap hamparan hijau hutan yang aku lewati, dan tiap suara jangkring yang semakin menghilang, adalah sisa sisa petualangan yang akan segera berakhir. Aku semakin jauh meninggalkan Semeru.

Dari atas mobil jeep aku menemukan sebuah pelajaran berharga:

Inti dari perjalanan adalah bagaimana kita merasa nyaman dengan lingkungan dan teman seperjalanan.
Belajar menerima, belajar memahami, dan belajar mencintai.

Dari sana, aku temukan banyak pelajaran berharga tentang kehidupan.

Komunitas Toekang Poto sebelum berangkat menuju Jakarta di Stasiun Malang, Senin (24/11).


- Senin (24/11) pukul 23.02, ditulis di Kereta Mataremaja pulang dari Semeru. Aku tidak bisa tidur.

You Might Also Like

0 komentar

Instagram