Berjuta syukur kepada Allah karena telah menutup Bulan Rajab
ini dengan indah.
Waktu itu malam tanggal 28 Mei ketika bulan sempurna
menghilang. Ya, ialah bulan pada fase bulan mati sekaligus menandakan
berakhirnya Bulan Rajab. Dalam pendakian kali ini aku belajar berharap. Belajar
pasrah kepada Yang Maha Menentukan. Belajar bahwa hanya Allah saja lah yang
punya kuasa, punya hak penuh mengatur seluruh petualangan ini.
Belajar bahwa
manusia hanya bisa berdoa, berharap, berusaha, sisanya terserah Allah. Belajar
ikhlas dengan yang Allah berikan. Belajar ikhlas kalau di malam pertama langit
malam berawan, belajar ikhlas kalau di hari pertama sunrise tidak berwarna, dan belajar ikhlas kalau di hari pertama
dan kedua sunset selalu mendung.
Berharap, aku hanya bisa berharap Allah mau melukiskan langit yang indah
untukku.
“Ya Allah berikanlah langit yang indah, pagi hari yang biru,
sunset dan sunrise yang keren, dan mala bertabur bintang.”
Ternyata di akhir hari petualanganku ini Allah mengabulkannya. Allah mengabulkannya
setelah aku tersadar kalau aku tak punya kuasa apapun mengenai langit. Lalu aku
menyadari dan berkali-kali meyakinkan diriku kalau apapun kondisi langitnya,
itu yang terbaik dari Allah.
Entah sudah yang keberapa kalinya Allah mengabulkan permintaanku sebelum naik
gunung.
Betapa baik dan pemurah-Nya ia.
Aku juga tak tahu mengapa, dengan diriku yang sangat
mengagumi kuasa Allah yang bernama langit ini. Berzikir itu artinya mengingat
Allah. Tak pernah aku berhenti memuja-memuji-Nya, mengagumi-Nya, mencintai-Nya
dengan sangat jika sedang melihat kekuasaan Allah yang satu ini.
Ialah langit. Benda menakjubkan yang tak pernah berhenti
membuatku terpukau. Bahagia sampai ingin menangis.
Taburan bintang di Pondok Saladah |
Bersyukur tak terhingga karena bisa menyaksikan langit
seindah malam itu.
Malam itu, malam terakhir untuk Bulan Rajab. Aku dan Ossi
mengabadikan langit malam bertabur bintang di atas Pondok Saladah, sebuah
tempat terpencil di Gunung Papandayan. Ditemani lagu Knee Deep-nya Zac Brown, candaan ringan dari pendaki lain dari
tenda-tenda, dan cahaya kecil api unggun dari kejauhan, membuat keindahan malam
itu semakin menjadi saja. Mata yang berbinar-binar dan senyum yang semakin
mengembang pun menghiasi wajahku malam itu.
Qoonit dan milky way |
Pagi hari, Bulan Sya’ban datang. Aku semakin merindu saja,
rindu akan pertemuan dengan Bulan Ramdhan.
Mungkin karena keberkahan di awal masuknya Bulan Sya’ban,
matahari pagi itu terbit dengan indahnya. Sempurna membuka hari, menutup gelap,
mewarni langit, gradasi indah tak terkira. Waktu itu kami sedang di Hutan Mati,
keindahan sunrise langsung
memberhentikan kami dari perjalanan menuju Puncak Papandayan.
Keindahan langit di Hutan Mati |
Sekali lagi, langit tebar pesona, dan aku tak bisa untuk
tidak terpesona dengan keindahannya. Masya Allah..
Hutan Mati on Fire |
Semua keindahan ini, berawal dari ajakan naik gunung-nya kak
Ronny, sang astrofotografer, yang ngajak motret milkyway di akhir mei. Terpilih
lah tanggal 28 karena malam itu sedang fase bulan mati, kalau cerah malam akan
bertabur bintang tanpa terganggu sinar apapun. Karena alasan dana dan geografis
akhirnya kami memilih Papandayan sebagai tempat hunting foto milkyway ini. Aku mengajak Wibi, Yopin, dan Ossi, yang
ternyata sama-sama hobi naik gunung. Mendekati hari H entah kenapa yang mau
ikut ke Papandayan jadi berkali lipat, total ada 13 orang! Hoho...pendakian ini
akan menyenangkan. Oh iya, dan entah kenapa juga ternyata Ka Ron ga jadi ikut
karena masih di Jogja. Jadilah pendakian kali ini khusus anak Jurnal 2012 :
Qoonit, Amal, Tere, Dipna, Osi, Hani, kang Apis, Wibi, Ardi, Isal, Wendhi,
Yopin, dan Mbaput.
Geng Gunung Jurnal ini sudah lama aku dambakan, hihi..
Alhamdulillah terbentuk juga.
Mereka lucu sekali;
Ossi yang selalu curhat masalah hati, Ardi si Oppa yang
hidupnya sangat drama, Wendhi yang selalu jadi bahan bully, Kang Apis yang tukang ngelawak, Amal ‘ibadah’ dengan
tingkahnya yang kocak, dan tingkah teman-teman lainnya yang beraneka rupa.
Mereka selalu membuatku tertawa.
Dalam pendakian kali ini, aku jadi tempat bertanya banyak
hal, hal remeh temeh yang sebenarnya aku yakin mereka sudah tahu jawabannya,
“Qoon wudhu boleh pake tisu basah ga? Gue males kena air,
dingin banget”
“Qoon, salat boleh ga pake kaos kaki ga?” (padahal dia
cowok)
“Qoon, tadi dia nyentuh gue, gue batal ga?”
“Qoon, kalo digunung boleh dijamak?”
“Qoon, udah asar blom? Udah subuh blom? Udah magrib? Udah
zuhur? Udah Isya?”
“Qoon gue boleh pake celana pendek ga?”
“Qoon, masa gue gak solat isya tadi malem, gimana dong?”
Dan lain sebagainya, haha..
Sampe Dipna yang nonis (non Islam) bingung, “Kenapa kalian
nanya mulu ke Qoonit sih! Kalian kan juga Islam masa ga tauu”
Wakakak, aku jawab aja sebisanya, hihi..
Pendakian kali ini Alhamdulillah lancar, kami semua sehat,
bahagia, dan semua bisa sampe titik tertinggi Gunung Papandayan, alias sampe
puncak! Yah, walaupun kondisi di puncak tidak seindah yang kami harapkan,
keindahan selama perjalanan sudah membayar lunas semua kelelahan yang kami
alami.
Mulai dari Camp David, landscape
tebing-tebing dan kawah yang mengepulkan asap sudah memukau kami.
Bberjalan lah sedikit agak menanjak dari Camp David, dan kalian akan menemukan keindahan ini |
Tebing tebing terjal menjadi pemandangan menuju Pondok Saladah |
Kemudian Podok
Saladah, hamparan rumput hijau yang dikelilingi bukit-bukit tinggi menjulang
yang berselimu kabut nan eksotis.
Wibi-Wendi-Ardi-Ossi-Tere-Amal-Hani-Putri-Qoonit-Yopin-Kang Apis- Isal |
Hutan Mati, hutan yang pohon-pohonnya seperti
berdiri dengan angkuh, meliuk-liuk indah rupawan.
Tegal Alun, padang luas
dengan hamparan bunga Edelweiss yang dikelilingi oleh bukit-bukit hijau nan
cantik.
hingga puncak, semua memiliki keindahannya masing-masing. Semua
memesona.
Semua mengingatkan aku pada sang Pencipta, kembali berzikir,
mengingat kekuasaan-Nya.
Papandayan ini memang banyak sekali objek fotonya,
cantik bukan main! Masya Allah sukaaaaa :”)
Gak heran kalau kami sering sekali berhenti untuk berfoto.
Sekarang di Camp David ada pemandian air panas :') |
Salah satu hal yang menyenangkan dari geng jurnal ini ialah
kemudahan dokumentasi. Kami membawa 4 kamera SLR, 1 Kamera digital, dan 3
tripod. Lebih dari cukup untuk mendokumentasikan semua petualangan kami. Karena
berlatar belakang jurnalistik, kami mengerti pentingnya dokumentasi dan
mengerti teknik pengambilan foto.
Sayang kalian banget! Lope lope :*