Sebuah Pertanggungjawaban

9/30/2013 01:08:00 AM


Sebelumnya tidak pernah terpikir oleh saya untuk pergi ke pengadilan, dalam benak saya pengadilan adalah tempat orang-orang yang melanggar hukum, kaku dan membosankan. Karena tugas Reportase dari Pak Rana saya akhirnya berkunjung ke Pengadilan Negeri (PN) di Jalan Riau, Bandung. Kamis, 26 September saya dan teh Tari, teman di kepanitiaan SPMI, pergi ke PN dengan mengendarai sepeda motor. Setelah beberapa kali salah tempat, pertama ke PN di samping Telkom, ternyata dalam PN tersebut tidak ada persidangan, kedua di Kejaksaan Tinggi, di tempat tersebut juga tidak ada persidangan, akhirnya sampailah kami di Pengadilan Negeri. PN terdiri dari dua gedung berwarna putih pucat dengan tulisan dan aksen hijau tua.
Aku masuk pada gedung pertama dan menanyakan bagaimana prosedur untuk bisa mengamati jalannya persidangan. Teteh yang aku tanyai sempat meminta surat dari kampus, tetapi setelah aku jelaskan kembali, teteh tersebut menjelaskan, ternyata untuk sidang terbuka tidak perlu menyertakan surat dari kampus, tinggal masuk saja ke dalam ruang sidang. Kasus hari itu sedang menarik rupanya; Korupsi dana bansos yang melibatkan Walikota Bandung, Dada Rosada.
Dengan antusias aku menaiki tangga ke lantai dua, aku penasaran sekali bagaimana persidangan berlangsung. Belasan wartawan dengan kamera dan pakaian khasnya ramai di sekitar ruang persidangan. Aku memasuki ruang persidangan dan duduk paling depan agar bisa mengamati lebih jelas. Satu menit berselang setelah aku duduk, “Kita lanjutkan persidangan ini, setelah istirahat, pukul 13.00.” kata Hakim Agung disusul ketokan palu. Aku dan teh Tari hanya bisa saling menatap dan tertawa. 
Sambil menunggu persidangan kembali dilanjutkan, kami memutuskan untuk Salat Zuhur dan melihat-lihat kondisi PN. Di gedung ke dua, yang lebih besar, aku melihat Pengadilan Anak, ruang tahanan, dan beberapa ruang pengadilan dengan nama-nama yang unik, seperti Ruang pengadilan Sadewa, dan Nakula. Bagiku melihat para tahanan seperti melihat setumpuk novel dengan kisah menariknya masing-masing. Saya melihat wajah para tahanan tidak seperti yang saya bayangkan; hitam, dekil, dan sangar. Sebaliknya, saya melihat para tahanan dengan muka putih, bersih, sebagian ada yang berwajah kalem, tampan, bahkan terlihat saleh.

Puas mengabadikan foto para tahanan, aku kembali melihat-lihat ruangan yang ada. Layaknya menaiki sebuah wahana di taman hiburan, aku memasuki berbagai ruangan persidangan dengan antusias.
Ruangan pertama, tepat di samping ruang tahanan. Sebuah ruangan dengan pagar pembatas di tengah ruangan, empat orang tahanan dengan rompi merahnya duduk berbaris. Di depannya duduk tiga hakim dengan baju ‘kebesaran’, di kiri ruangan terdapat penasihat hukum, dan di sebelah kanan terdapat penuntut umum. Aku simpulkan, kasus yang menimpa empat tahanan tersebut ialah melakukan kemudahan untuk melakukan pencurian secara bersama-sama. Sekitar lima menit aku mengikuti persidangan, ketokan palu sudah terdengar tanda berakhirnya pengadilan. Aku berpindah ke ruangan selanjutnya.
dan tahanan ada di sebelah kiri saksi. Hakim mengatakan, orang yang memiliki hubungan keluarga tidak diperkenankan menjadi saksi, “Apakah bisa saudara mencari saksi lain?” Tanya Hakim Agung kepada tahanan. Sang tahanan hanya bisa mengangguk pasrah. Setelah itu persidangan berakhir, aku menuju ruangan selanjutnya.

Ruangan ketiga, dengan posisi yang sama seperti di ruangan satu. Satu orang tahanan duduk di tengah sambil menunduk. Hakim agung terus menanyakan pertanyaan yang dijawab dengan anggukan lemah. Kasusnya ialah pemalsuan surat ijazah. Tidak lama berselang pengadilan berakhir.
Sebentar lagi pukul 13.00, aku dan teh Tari kembali ke ruangan  pertama untuk menyaksikan sidang kasus korupsi bansos. Kami memasuki ruangan sebelum sidang dimulai. Sekitar lima orang penuntut umum masuk dengan mengenakan pakain serba hitam, setelah itu rombongan penasihat hukum datang, sekitar dua puluh orang. Penonton persidangan sudah mulai ramai berdatangan. Empat handycamp dan tripod-nya sudah siap terpasang di batas pagar, siap merekam jalannya persidangan. Satu orang pria dari belakang ruangan datang dan berkata, “Para hadirin di harap berdiri, Hakim dipersilahkan masuk.” Lalu seluruh orang di ruang tersebut berdiri sebagai tanda penghormatan. Sidang hari ini programnya adalah pemanggilan saksi.
Persidangan berlangsung membosankan pada awalnya. Namun, semakin lama pertanyaan hakim semakin menelisik secara tajam kepada saksi.  Mari saya ceritakan isi persidangan hari itu. Kasus yang dibahas adalah dugaan korupsi bantuan sosial (bansos) di kantor Walikota Bandung. Kasus berawal dari hasil audit BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dana bansos sejumlah 9 miliar yang terindikasi telah dikorupsi oleh Walikota periode 2003-2008 Dada Rosada, sekda Edy Siswandi, dan sembilan orang jajarannya. Dua saksi yang duduk di depan hakim adalah penasihat hukum Dada Rosada (DR). Karena tidak mampu membuktikan data pengeluaran dan penggunaan dana bansos sejumlah 9 M, DR harus mengembalikan uang tersebut ke Kejaksaan Tinggi. Salah satu tugas kejaksaan tinggi: Pembinaan organisasi dan tatalaksana, urusan tata usaha dan pengelolaan keuangan, kepegawaian, perlengkapan, perpustakaan dan kekayaan milik negara yang menjadi tanggung jawab Kejaksaan. Lewat penasihat hukum (lawyer), DR mengembalikan uang kerugian negara sejumlah 5 M kepada kejaksaan tinggi melalui dua tahap, menggunakan ransel. Permasalahannya ialah, ketika hakim menanyakan sumber dana 5M tersebut, kedua saksi mengaku tidak tahu, padahal sebagai penasihat hukum, mereka wajib tahu sumber dana tersebut. Hakim juga semakin menyudutkan kedua saksi saat menanyakan apakah pihak bank tidak menanyakan sumber dana tersebut. Kedua saksi tetap tidak mau mengaku.


Dada Rosada sendiri saat itu belum pernah mengikuti persidangan. Kedua saksi mengatakan DR tidak dapat hadir karena tugas Dinas, sebuah alasan yang tidak logis menurut saya. Karena jawaban-jawaban kedua saksi yang tidak logis tersebut, besar kemungkinan mereka akan ditetapkan menjadi tersangka.
Karena waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 kami harus kembali ke Jatinangor karena ada suatu urusan. Berakhirlah sudah kunjungan kami ke pengadilan hari itu. Banyak sekali cerita dan pelajaran yang saya dapatkan, bahwa semua yang kita lakukan, kecurangan, dan kejahatan, akan dimintai pertanggung jawabannya, kalau tidak di dunia, di akhirat pasti adanya.

Memasuki persidangan di PN bandung, bahkan hanya melihat jalannya persidangan saja sudah menegangkan. Suasana di mana sebuah keadilan sedang diperjuangkan. Aku jadi membayangkan bagaimana Pengadilan Allah diakhirat nanti, seperti apa rasanya saat seluruh amal-amalku sedang dipersidangkan oleh-Nya. 

Apa yang akan aku katakan nanti, pembelaan apa yang aku lontarkan?


"Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. Qiyamah: 36)


Semoga kita semua bisa menjadi orang-orang yang beruntung ketika menghadapi "persidangan sesungguhnya", amin ya Rabb :)

You Might Also Like

0 komentar

Instagram